Ini Beban Negara jika Pimpinan MPR, DPR dan DPD Ditambah 10 Orang - KOMPAS.com KOMPAS/PRIYOMBODO Suasana gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/5...
KOMPAS/PRIYOMBODO Suasana gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (22/5/2009)
JAKARTA, KOMPAS.com - Kursi Pimpinan MPR, DPR dan DPD diusulkan ditambah dalam pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Dalam usulan terbaru, Pimpinan DPR ingin ditambah menjadi 7 kursi (bertambah 2 kursi), Pimpinan MPR menjadi 11 kursi (bertambah 6 kursi), dan Pimpinan DPD menjadi 5 kursi (bertambah 2 kursi).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, usulan tersebut mempertontonkan MPR, DPR dan DPD yang sangat ter obsesi akan kekuasaan.
Ia mengatakan, jika direalisasi, usulan tersebut tentu akan memunculkan beban anggaran yang besar.
"Ngapain untuk urusan sebagai wakil lembaga dan speaker lembaga, perlu begitu banyak orang? Padahal, elemen yang bekerja nyata untuk membuat kebijakan itu ada pada komisi dan alat kelengkapan lain," kata Lucius melalui pesan singkat, Kamis (25/5/2017).
(baca: Badan Legislasi DPR: Penambahan Jumlah Pimpinan DPD untuk Rekonsiliasi)
Sebab, kata Lucius, fungsi pimpinan itu utamanya mewakili lembaga dalam relasi dengan lembaga lain dan juga menjadi speaker untuk menyampaikan sikap atau keputusan lembaga.
Dengan fungsi seperti itu, mestinya tak masuk akal jika kursi pimpinan dijejali oleh banyak manusia sebagaimana diusulkan oleh DPR saat ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Budgeting Center, Roy Salam, memaparkan data terkait gaji dan fasilitas Pimpinan MPR, DPR dan DPD yang harus ditanggung A PBN jika jadi ditambah.
(baca: Kritik Rencana Penambahan Kursi Pimpinan, Marzuki Alie Sebut DPR Tamak)
Roy mengungkapkan, gaji seorang wakil ketua alat kelengkapan Dewan (AKD), termasuk Pimpinan DPR, mencapai Rp 59,04 juta. Itu merupakan take home pay Wakil Ketua DPR, MPR, dan DPD.
Jika Pimpinan MPR bertambah enam orang, maka per bulannya negara harus menganggarkan tambahan anggaran Rp 354,26 juta, dan per tahunnya harus menganggarkan Rp 4,25 miliar.
Jika Pimpinan DPR bertambah dua orang, maka per bulannya negara harus menganggarkan tambahan Rp 118,08 juta, dan per tahunnya Rp 1,42 miliar. Angka sama untuk penambahan dua pimpinan DPD.
Maka per tahunnya, negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp, 7,79 miliar untuk gaji 11 Pimpinan MPR, Rp 4,96 miliar untuk tujuh Pimpinan DPR, dan Rp 3,54 miliar untuk lima Pimpinan DPD.
(baca: Marzuki Alie: Aneh-aneh Saja, Malu Kita sebagai Rakyat Punya Wakil seperti Itu!)
Totalnya, negara haru merogoh kocek Rp 16,29 miliar hanya untuk gaji Pimpinan MPR, DPR, dan DPD per tahun.
Padahal, ada 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD yang juga harus dibayar gajinya oleh negara, dan juga masih banyak program MPR, DPR, dan DPD yang harus ditanggung negara.
Gaji tersebut di luar dari fasilitas tambahan yang diterima Pimpinan MPR, DPR, dan DPD berupa mobil dinas dan sopir beserta pengawalannya.
Selain itu, rumah dinas, ruang kerja beserta fasilitasnya, staf khusus, serta tenaga ahli yang juga harus digaji.
(baca:DPR Seharusnya Malu Minta Tambahan Kursi Pimpinan)
Mobil dinas yang digunakan Pimpinan DPR sama standarnya seperti yang digunakam para menteri, yakni Toyota Crown Royal Saloon. Harga mobil tesebut sekitar Rp 1,3 miliar.
Jika ada enam pimpinan baru MPR, dua Pimpinan baru DPR, dan dua Pimpinan baru DPD, maka negara harus menyediakan anggaran sekitar Rp 13 miliar hanya untuk kendaraan dinas mereka.
Terlebih, lanjut Lucius, pe nambahan jumlah pimpinan parlemen justru lebih memperumit kerja legislatif, khususnya dalam pengambilan keputusan.
Ia mengatakan, jumlah pimpinan yang banyak bukannya akan memberikan kemudahan dalam membuat keputusan, tetapi justru akan lebih sering menjadi penghambat.
Dalam proses yang rumit itu, justru peluang bagi terpeliharanya budaya transaksional menjadi lebih mungkin terjadi. Sebab, jika pengambilan keputusan kian sulit, maka transaksi merupakan jawaban.
"Ini merupakan ekspresi dari budaya koruptif yang kental di DPR. Korupsi itu biasanya muncul pada institusi yang suka bekerja tidak efektif dan efisien. Dengan memelihara sistem yang tidak efektif dan tidak efisien melalui banyaknya pimpinan itu," papar Lucius.
"DPR membenarkan bahwa mereka merupakan perawat setia perilaku korupsi. Inefisiensi juga otomatis tak terjawab karena MPR harus menggelontorkan dana untuk menghidupi 11 pimpinan yang hasil kerjanya juga jelas," lanjut dia .
Kompas TV PKS meminta MKD DPR untuk memproses dugaan pelanggaran Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:- Pro Kontra UU MD3
Tidak ada komentar