Pasal Penodaan Agama Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial - BeritaSatu ...
Pasal Penodaan Agama Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial
Ilustrasi solidaritas buat Ahok. (Antara)
Jakarta- Sejumlah kalangan meminta Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama dihapuskan dengan tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP yang sedang dibahas di DPR. Pasal ini dinilai rentan menjadi alat politik pihak tertentu. Setara Institute menyebut sejak 1965 hingga kini terdapat 97 kasus penistaan agama. Terakhir Gubernur DKI nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dijatuhi vonis 2 tahun pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) lantaran pernyataannya di Kepulauan Seribu.
Meski demikian, sebagian kalangan lainnya menilai pasal penodaan agama masih dibutuhkan dan diperlukan oleh Indonesia. Pasal ini dapat menjadi alat kontrol untuk menghindari kelompok masyarakat tertentu bertindak main hakim sendiri lantaran agamanya dinistakan atau dinodai.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi), Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan, Pasal 156a KUHP pernah diuji ke Mahkamah Konsitusi (MK) dan putusan MK m enyatakan bahwa Pasal 156a tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, pasal ini masih sah dan berlaku. Dikatakan, dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama setiap manusia bukan merupakan kebebasan yang bebas nilai. Sebaliknya, kebebasan ini disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan penghormatan HAM bagi orang lain.
"Sehingga negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain," katanya beberapa waktu lalu.
Menurut Bayu, tafsir terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Namun, perlu diingat jika tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah pada kebenaran dan berpotensi terjadi kesalahan. "Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, penafsiran tersebut harus berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut," katanya.
Dikatakan, tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum. Untuk itu, Bayu menyatakan, pasal penodaan agama ini diperlukan untuk menghindari kelompok masyarakat tertentu bertindak main hakim sendiri lantaran agamanya dinista atau dinodai. "Pasal ini merupakan social control tool atau sarana kontrol sosial terhadap kemungkinan adanya tindakan-tindakan anarkistis karena ketiadaan hukum ya ng mengatur penodaan atau penistaan terhadap suatu agama," paparnya.
Meski demikian, Bayu mengingatkan, aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal ini. Hakim, katanya, harus membuktikan terpenuhinya ketiga unsur yang ada dalam Pasal 156a KUHP secara akumulatif. Pasal 156a KUHP berbunyi, 'Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia'. Pasal ini memiliki tiga unsur yaitu: (i) barang siapa dengan sengaja; (ii) di muka umum; (iii) mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Hakim harus sangat hati-hati dalam memutuskan seseorang itu memang memiliki niat kesengajaan atau tidak. Mengingat niat dengan sengaja harus dapat dipahami seb agai sikap pelaku yang memiliki maksud untuk menghina pada agama dan bukan kesengajaan yang lain," tegasnya.
Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji mengatakan, dihapuskannya Pasal 156a akan berdampak besar bagi kehidupan beragama di Indonesia. Dihapuskannya pasal ini dikhawatirkan akan menimbulkan dekriminalisasi terhadap pelaku penista lintas keagamaan. Akibatnya akan menimbulkan ketidaktentraman dan ketidaknyamanan kehidupan umat beragama.
"Pasal-pasal penodaan terhadap golongan (Pasal 156 KUHP) dan penodaan terhadap agama (Pasal 156a KUHP) secara prinsipi sangat berbeda baik terhadap obyek perbuatan dan dampaknya. Adapun dampaknya sangat besar bila Pasal 156a dicabut dan ini justru akan menimbulkan dekriminalisasi terhadap pelaku-pelaku penista lintas keagamaan yang akan menciderai rasa ketentraman dan kenyamanan kehidupan beragama dan mengganggu secara masif terhadap ketertiban umum dalam masyarakat," ungkapnya.
Dampak-dampak dihapuskannya p asal penodaan agama ini, kata Indriyanto akan memicu ketidakharmonisan kehidupan beragama di Indonesia. "Dampak negatif ini justru akan sangat memicu kesetaraan dan keharmonisan hidup beragama di Indonesia. Justru di negara-negara dengan sistem common law dan civil law lebih ketat pengaturan penodaan agama pada delik terhadap penodaan agama atau blasphemy act, bukan pengaturan pada delik ketertiban umum atau public order," paparnya.
Fana Suparman/WBP
Suara Pembaruan
Sumber: Google News
Tidak ada komentar