Page Nav

HIDE

Pages

Breaking News:

latest

Ads Place

RUU Jabatan Hakim, Momentum Akhiri Monopoli MA - BeritaSatu

RUU Jabatan Hakim, Momentum Akhiri Monopoli MA - BeritaSatu ...

RUU Jabatan Hakim, Momentum Akhiri Monopoli MA - BeritaSatu

Ilustrasi RUU Jabatan Hakim, Momentum Akhiri Monopoli MA

Ilustrasi (Istimewa)

Jakarta - Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat men jadi peluang untuk melakukan reformasi peradilan, terutama dalam membenahi manajemen hakim di tubuh Mahkamah Agung (MA).

"RUU Jabatan Hakim yang diusulkan oleh DPR memberikan peluang baik dalam rangka melakukan reformasi peradilan di Indonesia utamanya membenahi manajemen hakim di MA," kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi), Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono kepada Suara Pembaruan, Senin (15/5).

Puskapsi Fakultas Hukum Universitas Jember menggelar temu pakar hukum atau expert meeting dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia beberapa waktu lalu. Sejumlah pakar hukum yang menghadiri pertemuan itu di antaranya Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, pegiat Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dan lainnya.

Bayu memaparkan, pertemuan para pakar ini menghasilkan sejumlah rek omendasi untuk membenahi sejumlah persoalan di institusi peradilan, seperti praktik suap kepada hakim dan pejabat pengadilan, kurang transparannya rekrutmen calon hakim, tidak jelasnya merit system, dan adanya kekuasaan besar di Sekretaris MA untuk menentukan mutasi, promosi hingga demosi.

Para pakar merekomendasikan agar dalam RUU Jabatan Kehakiman diusulkan perbaikan pola manajemen hakim. Pola pengelolaan hakim yang sebelumnya dimonopoli satu entitas atau one roof system -- yaitu MA -- diminta diubah menjadi tanggung jawab bersama pada beberapa lembaga atau shared responsibility system -- yaitu antara MA dengan Komisi Yudisial (KY). Dikatakan, praktik universal yang diterapkan di banyak negara seperti Austria, Belgia, Prancis, dan Jerman ini akan meringankan beban MA. Dengan demikian, MA dapat lebih fokus mengurus penanganan perkara dibanding mengurus berbagai beban administrasi manajemen hakim.

"Pola shared responsibility system diharapkan dapat mencegah dan mengurangi pelanggaran etika dan hukum oleh hakim serta praktik judicial corruption (korupsi lembaga hukum). Shared responsibility system dipandang merupakan cara menyeimbangkan independensi pengadilan dengan akuntabilitas yang sangat diperlukan mengingat kekuasaan kehakiman, yang dikatakan independen atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu yang dalam hal ini diikat pula dengan pertanggungjawaan atau akuntabilitas," paparnya.

Monopoli MA
Usulan diubahnya manajemen hakim dari sistem satu atap menjadi tanggung jawab bersama pada beberapa lembaga bukan tanpa alasan. Para pakar menilai, saat ini terjadi penyimpangan dalam penerapan sistem satu atap yang berlaku sejak era reformasi dengan MA mengelola seluruh urusan terkait pengadilan baik teknis yudisial maupun manajemen hakim yang meliputi pengangkatan, pembinaan, pengawasan, pelindungan, dan pemberhentian. Setid aknya, berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 14 orang hakim yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2010 hingga 2016. Para hakim ini melakukan dagang perkara untuk mencari keuntungan yang tidak semestinya atau undue advantages.

"Dari jumlah hakim yang terlibat tindak pidana korupsi tersebut menunjukkan ada persoalan serius terkait kualitas integritas hakim di Indonesia. Salah satu sebab kondisi darurat integritas hakim Indonesia adalah adanya penyimpangan atas sistem satu atap atau one roof system dalam manajemen hakim yang ditetapkan setelah era reformasi," paparnya.

Menurut Bayu, sistem satu atap semakin menyimpang karena lebih menekankan pada kemerdekaan kehakiman secara kelembagaan dibanding individual hakim. Akibatnya, kemerdekaan kehakiman individual saat ini berada di bawah subordinasi kekuasaan para pejabat di MA.

"MA sebagai strata tertinggi dalam struktur kehakiman di Indonesia sangat berkuasa menentukan mulai dari rekrutmen, pembinaan, hingga nasib karier para hakim. Sejauh ini, makna independensi kekuasaan kehakiman cenderung lebih ditekankan pada aspek independensi kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan eksternal dan cenderung mengabaikan aspek independensi kehakiman dari pengaruh internal kekuasaan kehakiman. Padahal tidak dapat dipungkiri internal kekuasaan kehakiman sekalipun bisa melakukan intervensi terhadap independensi hakim," ungkapnya.

Hakim Enggan Menindak Rekannya
Di sisi lain, Bayu mengatakan pengawasan hakim yang dilakukan oleh internal MA kurang efektif. Hal ini salah satunya disebabkan adanya keengganan dari sesama hakim sebagai kolega untuk bertindak tegas, apalagi melakukan pemberhentian.

"Keberadaan KY sebagai pengawasan eksternal sesungguhnya diharapkan lebih membuat pengawasan hakim menjadi lebih objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien," katany a.

Selain itu, Bayu mengatakan, dengan kedudukannya sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, proses rekrutmen hakim sudah seharusnya mengalami perubahan dibandingkan yang diatur saat ini. Dikatakan, sebagai pejabat negara, hakim harus memiliki kualifikasi khusus, seperti praktik hukum dalam jangka waktu tertentu. Tak hanya perubahan kualifikasi, diperlukan juga proses rekrutmen yang ketat dan mengikuti pola seleksi pejabat negara pada umumnya, yakni melalui panitia seleksi (pansel) yang di dalamnya melibatkan unsur representasi beberapa lembaga, antara lain KY, Ombudsman, Komnas HAM dan stakeholder lainnya seperti perwakilan masyarakat atau akademisi.

"Untuk meminimalisir 'disorientasi' pembinaan dalam hal penempatan, promosi, dan mutasi hakim selama ini, maka perlu dilakukan penataan ulang kewenangan pembinaan hakim, agar bukan lagi sebagai 'monopoli' MA, melainkan juga menerapkan mekanisme check and balances dalam pelaksanaan proses promosi dan mutasi hakim. Penerapan check and balances itu kemudian diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada KY dalam pembinaan hakim, khususnya mengenai promosi dan mutasi," katanya.

Lebih jauh, para pakar hukum ini juga merekomendasikan kepada MA untuk menunda rekrutmen hakim yang saat tengah disiapkan dengan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. Hal ini mengingat Perma 2/2017 bertentangan dengan arah kebijakan kedudukan hakim sebagai Pejabat Negara sebagaimana ditentukan oleh UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Selain itu, keluarnya PERMA di tengah sedang disusunnya RUU Jabatan Hakim, merupakan hal yang kontraproduktif dengan gagasan menata manajemen hakim yang lebih baik seperti yang dikehendaki oleh RUU Jabatan Hakim, mengingat syarat dan mekan isme rekrutmen untuk dapat menjadi hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan saat ini berbeda dengan syarat untuk dapat menjadi hakim dalam RUU Jabatan hakim," katanya.


Suara Pembaruan

Fana Suparman/HA

Suara Pembaruan

Sumber: Google News DPR

Tidak ada komentar

Latest Articles