Page Nav

HIDE

Breaking News:

latest

Ads Place

Budaya dalam Perspektif Sustainable Development : Memikirkan Indonesia sebagai Welfare State Berbasis Budaya - mediaharapan.com (Blog)

Budaya dalam Perspektif Sustainable Development : Memikirkan Indonesia sebagai Welfare State Berbasis Budaya - mediaharapan.com (Blog) Oleh:...

Budaya dalam Perspektif Sustainable Development : Memikirkan Indonesia sebagai Welfare State Berbasis Budaya - mediaharapan.com (Blog)

Oleh: Everd Scor Rider Daniel
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial)

MEDIAHARAPAN.COM â€" Berbincang tentang isu budaya hari ini mungkin lebih banyak memunculkan rasa pesimis daripada simpati. Ada yang melihat budaya secara sinis. Sinisme-sinisme terhadap budaya kebanyakan melekat pada persepsi generasi baru (Generasi Y/milenium), khususnya, mereka yang relatif jauh jaraknya dari era munculnya peradaban budaya. Ruang dan waktu yang praktis berubah, mempengaruhi perilaku daripada setiap generasi untuk menginterpretasikan budaya. Kandungan nilai sedikit lebih luntur dibanding generasi terdahulu. Isu bud aya agak dikhawatirkan meredup, ketika nantinya tidak lagi menjadi perbincangan menarik, atau bahkan lepas dari perhatian wacana sosial (civil disscourse).

Sebagai bagian dari peradaban, budaya dipandang sentral sebagai sumber nilai, norma, adat, tradisi suatu bangsa. Muncul pertanyaan, dimana letak budaya dalam pembangunan? Bilamana suatu pembangunan berjalan sendiri tanpa ada titik kompromi dengan kemapanan budaya, berangsur-angsur akan terjadi disorientasi. Laporan UNESCO dalam Global report on Culture for Sustainable Urban Development, merupakan rumusan pembangunan berkelanjutan yang mana secara inklusif meletakan budaya sebagai bagian sentral dari perkembangan masa depan. “Culture lies at the heart of urban renewal and innovation” (UNESCO dalam Culture Urban Future, 2016). Persepsi dalam konsep pembangunan urban (kota) secara berkelanjutan, dipandang tidak lepas secara parsial dengan apa yang disebut budaya. Dengan kesimpulan, bahwa mengimajinasikan pembangunan di masa depan mesti disandingkan dengan kapasitas cultural knowledge.

“The power of culture as a strategic asset for creating cities that are more inclusive, creative and sustainable. Creativity and cultural diversity have been the key drivers of urban success”. (UNESCO, 2016). Budaya diyakini sebagai harapan atau kekuatan untuk menjawab segala resiko dan tantangan pembangunan di masa depan. Karena dalam budaya melekat karakteristik sosial masyarakat, nilai-nilai kreativitas, sudah semestinya budaya dijadikan sistem sumber untuk mengklasifikasi potensi pembangunan untuk menjawab pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Letak tujuan pembangunan pada intinya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kesejahteraan (welfare). Substitusi atau pertukaran yang diharapkan dari suatu kebijakan adalah asas kemanfaatan dan keadilan (justice and prosperity). Kehendak dalam mewujudkan kenyataan itu tidak lepas dari dasar-dasar pembangunan itu sendiri yaitu distributive justice, reso urce allocations, dan social welfare. Bagaimana negara menjawab kesejahteraan? kunci dari tujuan pembangunan sebenarnya adalah bagaimana memanfaatkan kapasitas, mampu menerjemahkan kondisi sosial, memahami secara awal segala keinginan dan harapan masyarakat. Dan dalam kaitan dengan pembahasan ini, salah satu akses menuju kesejahteraan adalah pada kapasitas kultural.


Sentralitas Budaya dalam Pembangunan Berkelanjutan



Membuka lembaran masa lalu, membangun keintiman dengan budaya merupakan niat baik untuk menjawab pembangunan di masa depan. Walaupun tidak ada yang dapat membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan, namun kewajiban mengenal masa lalu (budaya) adalah menjadi kebutuhan yang penting. Karena itu, dasar-dasar filosofi budaya menjadi kekayaan yang wajib diketahui, dianalisa untuk mendapat pemahaman utuh dalam menjawab pertanyaan, bagaimana dan mau dibawa kemana pembangunan itu. Konten-konten lokal memiliki kapasitas yang mesti diperla kukan secara mapan, harus diejawantahkan. Pembangunan yang kehilangan sentuhan budaya dan tidak mengkompromikan inklusivitas budaya akan perlahan menutup jalan pembangunan itu sendiri.

Budaya disepakati sebagai salah satu agenda penting dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati secara global pada tahun 2015 sebagai lanjutan dari agenda sebelumnya, Millenium Development Goals (MDGs). SDGs disepakati secara internasional sebagai komitmen bersama untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan dan diskriminasi. Pada 17 goals yang ada, budaya dimasukan dalam poin 11, yaitu sustainable citites and communities (which aims to ‘make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable, UNESCO 2016).

Ketika berbincang mengenai budaya, sudah kah Indonesia menyadarinya? pemahaman culture dalam pembangunan masa depan diimajinasikan sebagai heart of urban development, dalam proses mengintegrasikan kesejahteraan, keadilan dan mengeliminasi kese njangan. Promosi terhadap cultural and creative industry, misalnya, menjadi suatu nilai strategis bagi Indonesia. Pembangunan berbasis budaya di Indonesia adalah peluang yang harus direbut, karena begitu banyak warisan tradisi yang dimiliki.

Pembangunan dan pengembangan kreativitas masyarakat perlu disandingkan agar sejalan menuju kesejahteraan. Bukan berbicara budaya untuk dikomersialkan atau didagang, namun melestarikan budaya sembari mendapat manfaat. Kreatifitas budaya di Indonesia menjadi legacy yang istimewa. Indonesia memiliki banyak peluang, dari segi kapasitas kultural, dan diversity karena sebagaimana diakui dalam orientasi SDGs bahwa budaya sebagai dasar pembangunan berkelanjutan.


Tantangan Polarisasi Budaya dalam Pembangunan

Ketika budaya kehilangan legitimasinya maka mendorong terjadinya persoalan-persoalan dalam dinamika sosial. Esensi budaya bagi manusia adalah ruang batin dan sumber nilai. Perkembangan budaya berkaitan dengan perubahan zaman, globalisasi mendatangkan tawaran nilai, asimilasi, modernisasi, silang budaya, kompilasi hingga inovasi. Ada hubungan paradoksal antara budaya dan peradaban modern yang saling bertentangan. Hal yang dikhawatirkan adalah asimilasi dan liberalisasi tanpa selektif. Sebagian memandang glamournya era sekarang berangsur mulai mengeleminasi estetika kebudayaan.

Proteksi dalam arus liberalisasi menjadi centered of attention bagi stakeholders, khususnya dalam keinginan memelihara tradisi kebudayaan. Sebab, kenyataan globalisasi seakan tidak melepas budaya bebas berekspresi dalam orisinalitasnya. Tanpa proteksi, budaya berangsur kehilangan esensinya ditengah peradaban masyarakat. Ketersingkiran ini menjadikan kehidupan sosial dan tradisi menjadi terabaikan dalam identitas bangsa. Memikirkan kembali kata Penyair Belanda Lucebert “semua yang berharga tidak mampu bertahan”. Argumentasi tersebut menegaskan bahwa kekekalan tentang sesuatu yang baik adalah sebuah hal yang sulit untuk dija ga.

Dalam memaknai budaya, poin kritisnya adalah “sebagian besar penduduk di muka bumi masih tetap bertahan melalui aktivitas-aktivitas lokal berbasis komunitas, itu sebenarnya karena mereka sebagai manusia masih mampu mengendalikan secara sadar budaya yang dimiliki dengan tujuan tidak ada penguasa lain (kendali asing).

Keberanian dan niat dalam mengedepankan kapasitas kultural dan knowledge of local wisdom merupakan suatu kewajiban yang harus terus dijaga. Sumber-sumber pembangunan berkelanjutan dalam SDGs sebenarnya sudah dimiliki indonesia yang dibuktikan melalui dimensi sosiologis, historis dan geografis. Kesejahteraan berbasis budaya merupakan kekayaan yang harus diwujudkan.

Comments

comments

Sumber: Google News Budaya

Tidak ada komentar

Latest Articles