Kursi DPR dan Kompromi Kebablasan - Kompas.com - KOMPAS.com KOMPAS/ALIF ICHWAN Ilustrasi DPR: Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripu...
KOMPAS/ALIF ICHWAN Ilustrasi DPR: Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripurna pembukaan masa sidang IV Tahun 2014-2015, di ruang sidang paripurna II, Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/5/2015). Hadir Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah.
OLEH:
SIDIK PURNOMO
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memasuki tahap akhir. Salah satu isu yang cukup pelik dan menyita perhatian adalah jumlah kursi DPR (assembly size).
Dalam perkembangan pembahasan RUU antara Dewan Perwakilan Rakyat bersam a pemerintah, disiarkan bahwa telah ada kesepakatan menambah jumlah kursi DPR menjadi 575, bertambah 15 kursi dari jumlah kursi DPR pada Pemilu 2014.
Kompromi
Penambahan itu merupakan titik kompromi di mana sebelumnya pemerintah mengusulkan penambahan hanya lima kursi, sementara Pansus DPR menginginkan penambahan 19.
Pemerintah menyatakan penambahan lima kursi akan dialokasikan untuk Kalimantan Utara sebanyak tiga kursi dan masing-masing satu kursi untuk Kepulauan Riau dan Riau, dan 10 kursi selebihnya diserahkan pengalokasiannya kepada DPR.
Pihak DPR beralasan bahwa penambahan 15 kursi dimaksudkan untuk menutup kekurangan representasi pada sejumlah provinsi dan faktor kehadiran Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru.
Salah satu alternatif yang mengemuka, sebaran 15 kursi penambahan adalah Kalimantan Utara (3 kursi), Riau (2), Lampung (2), Kalimantan Barat (2), Papua (2), Sumatera Utara (1), Kepulauan Riau, Sulawesi T enggara (1), dan Sulawesi Barat (1).
Terhadap daerah yang dinilai berlebih(over-represented), DPR dan pemerintah sepakat tak mengurangi alokasi kursi DPR hasil pemilu sebelumnya dengan alasan demi menjaga stabilitas politik.
Sekalipun mendapat tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil, terutama terkait evaluasi kinerja dan tambahan beban anggaran, tersirat bahwa DPR maupun pemerintah bersikukuh bahwa konsekuensi dari penambahan masih bisa dalam batas toleransi dan manageable.
Selayaknya negara demokratis yang menganut sistem parlemen bikameral, DPR merupakan representasi penduduk yang jamaknya menganut prinsip one person one vote one value (OPOVOV).
(Baca: Penambahan Kursi DPR RI Dialokasikan untuk Daerah Luar Jawa)
Dispensasi mungkin saja diberlakukan, misalnya demi alasan untuk mengakselerasi kemajuan dan menipiskan ketertinggalan, wilayah "pinggiran" bisa diberikan wakil lebih banyak.
Sementara perwakilan wilayah tecermin dengan kehadiran Senat, dalam konteks Indonesia adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di mana setiap provinsi seberapa pun luas wilayah atau berapa pun jumlah penduduknya, mengirimkan wakil masing-masing empat orang.
Dari sisi jumlah kursi, merujuk pada dalil matematika (cube law) sebagaimana dipaparkan Rein Taagepera (2002) ataupun formulasi modifikasi dengan memperhatikan jumlah penduduk aktif, penambahan kursi DPR memang masih memungkinkan.
Akan tetapi, pertanyaan berulang yang harus dijawab adalah apakah pengalokasian kursi DPR tersebut telah mengikuti prinsip utama, seperti proporsionalitas, kesetaraan, dan derajat keterwakilan yang tinggi?
Page: 12 Show All Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:- Revisi UU Pemilu
Tidak ada komentar