*Full day School, PBNU dan Perebutan Panggung Politik* "Karena full day school pulang sore, anak-anak tidak kenal akhlak. Maka saya...
"Karena full day school pulang sore, anak-anak tidak kenal akhlak. Maka saya jamin akan muncul generasi radikal," Said Aqil Siradj (m.viva.co.id, 11/08/2017).
Kebijakan penerapan Full Day School (FDS) oleh pemerintah menerima penolakan keras dari PBNU, mereka menolak dengan sekonyong-konyong (tanpa kompromi). Hal ini dilakukan dengan tiga alasan mendasar.
Pertama, Ketidakpercayaan PBNU bahwa kebijakan FDS itu dilaksanakan secara optional, artinya tergantung kesiapan sekolah dalam pelaksananya. Dalam hal ini ia menganggab meski perpres akan mengatur pelaksaan FDS optional namun ia tetap menolak, sebab bagi dia peraturan dan penerapan di lapangan bisa berbeda, bisa saja dilapangan dipaksakan.
Kedua, Meyakini bahwa kebijakan FDS mampu mematikan sekolah diniyah, TPA / TPQ yang biyasanya kegiatan belajar mengajarnya berlangsung sore, antara jam 14.00 sampai menjelang magrib.
Ketiga, Menganggab kebijakan FDS sebagai wadah kemunculan generasi radikal, dengan alasan anak didik hanya belajar di sekolah, tidak kenal mengaji dan kurang cukup dalam belajar akhlak serta sopan santun.
Dengan berbagai alasan diatas PBNU sampai-sampai menyerukan #jihad meolak FDS, ia juga mengerahkan banyak santri dari berbagai pesantren untuk turun dalam aksi demo ke jalan. Hal ini sangat disayangkan, santri yang seharusnya menikmati proses belajar mengajar dengan asik, malah ditarik larut dalam perdebatan yang seakan-akan juntrunganya perebutan panggung politik.
Bagimana tidak, lebih dari sekadar alasan-alasan diatas. dari zaman-kezaman panggung mentri pendidikan selama ini lebih sering diduduki tokoh dari kalangan organisasi muhammadiyah, sedangkan NU hanya beberapa kali merasakanya. Muhammadiyah selalu dianggap oleh pemerintah sebagai kalangan yang ngerti pendidikan (formal school), dengan ribuan lembaga pendidikan yang dia miliki dan telah berdiri ratusan tahun lamanya, sebagai bukti kemampuan Muhammadiyah dalam mengelola lembaga pendidikan. Siapa yang tidak tau sekolah muhammadiyah, perguruan tinggi Muhammadiyah dengan berbagai fasilitas lengkapnya hampir ada disetiap provinsi, bahkan dalam satu provinsi bisa tiga atau lebih.
NU merasa dirinya juga mampu mengelola lembaga pendidikan. Coba lihat ia memiliki ribuan pesantren, belum lagi banyak pesantren yang berafiliasi dengan NU tapi tidak dibawah lembaga pendidikan NU (ma'arif NU). Apalagi akhir-akhir ini, pada masa kepimimpinan ketua umum Kiyai Said Aqil Siradj, ia gencar mendirikan perguruan-perguran tinggi NU diberbagai daerah. Baik itu perguruan tinggi berbasis agama maupun umum.
Wajar saja jika NU juga tidak mau kalah dengan Muhammadiyah. Dia ingin menunjukkan bahwa dia bukan lagi kaum yang hanya sorang-sarungan. Lebih dari itu ia juga ingin menunjukkan wajah, bahwa dalam hal pendidikan NU bisa sejajar atau bahkan melebihi muhammadiyah. Dan seharusnya orang NU juga bisa lebih mampu dong jadi Mentri pendidikan.
Sebaliknya, Muhammadiyah (Mentri Pendidikan) nampak lebih santai dalam menanggapi berbagai penolakan dari PBNU.
Penulis :Khoirul Bakhri ( Aktifis HMI)
Tidak ada komentar