Empat tersangka ditangkap terkait meninggalnya siswa dalam 'aksi gladiator' ]]> ...
]]> Empat tersangka ditangkap terkait meninggalnya siswa dalam 'aksi gladiator'
Lebih dari satu setengah tahun lalu, Januari 2016, Hilarius Christian Event Raharjo, siswa SMA Budi Mulia meninggal dunia berduel ala gladiator dengan siswa SMA Mardi Yuana di kota Bogor.
Baru pada Kamis 21 September 2017, polisi akhirnya menangkap tersangka yang terlibat dalam perkelahian itu setelah orang tua korban -yang semula menolak otopsi- bersedia jika jenazah putranya diperiksa kembali.
"Dengan menulis surat ke presiden, kami langsung mendatangi orang tuanya. Kami menyampaikan bahwa apapun upaya ibu tidak akan bisa kalau korban tidak kita otopsi karena kita ingin mengetahui sampai di mana penyebab kematian korban", jelas Kepala Polresta Bogor, Kombes Ulung Sampurnajaya.
- Toleransi siswa Indonesia terpen garuh Pilkada Jakarta?
- Pancasila: Mengapa siswa jadi wajib nyanyikan Indonesia Raya?
"Akhirnya setelah kita sampaikan, keluarga korban juga mau dan pada Senin kemarin kita melakukan otopsi," tambah Kombes Ulung.
Empat tersangka yang terlibat dalam duel yang menghilangkan nyawa Hilarius itu, termasuk seorang lawan berkelahinya, sudah ditangkap sementara dua tersangka lagi masih buron.
Sulit dipantau sekolah
Walau kasus gladiator ini baru pertama kali diterima Polresta Bogor, dikhawatirkan banyak kekerasan lain yang terjadi di kalangan siswa sekolah menengah, tentu tak semuanya berakhir dengan kematian.
Jelas bahwa kematian Hilarius karena perkelahian sesama siswa bukan kasus yang pertama.
Bulan Mei 2017 lalu, misalnya, seorang siswa SMA di Palangkaraya meninggal karena dikeroyok, dan awal Maret siswa SMA di Situbondo meninggal saat tawuran sementara bulan Juni seorang pelajar di Bogor meninggal, juga dalam duel yang disaksikan beberapa siswa lainnya.
Seorang mantan murid sekolah swasta terkenal di Jakarta, misalnya, mengatakan ada semacam tradisi untuk 'memelonco' murid-murid yang baru masuk dengan tindakan yang mengandung kekerasan fisik.
Menurut Jajang Koswara, Kasubbag Perencanaan dan Pelaporan Dinas Pendidikan Kota Bogor, perkelahian seperti itu sulit dipantau pihak sekolah karena sering terjadi di luar gedung setelah jam belajar.
"Kalau di sekolah, kita mengawasi sesuai dengan tata tertib sekola h, sesuai dengan aturan dari pemerintah."
"Kami juga pernah mendengar di beberapa daerah yang sekolahnya besar, bertingkat, itu kan bisa tidak terkontrol oleh sekolah," tegas Jajang.
Mencari eksistensi diri
Sulit untuk memahami kenapa kekerasan mewabah di kalangan sebagian siswa di Indonesia, namun anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda berpendapat ada kaitannya dengan masa akil balik untuk 'mencari eksistensi diri'.
"Saat kita tarik dengan psikologi, anak remaja ini pada saat eksistensinya tidak diakui, mereka mencari tempat mereka ingin diakui."
"Yang kedua, pada saat anak ini tidak diterima eksistensinya dan sebagainya, mereka mencari perhatian supaya 'ini loh saya, kamu harus akui saya.'"
"Selanjutnya, keinginan remaja ini dengan apa yang saat ini terjadi, apa yang dia punya, ternyata sangat jauh berbeda," jelas papar Erlinda.
'Kesalahan' sistem pendidikan
Sementara seorang ahli psikologi sosial, Risa Permanadeli, menyorotinya lebih luas dengan merujuk pada sistem pendidikan nasional sebagai salah faktor yang membuat agresivitas remaja tak dapat dibendung.
"Mereka hanya dituntut di sekolah, tetapi sekolah, guru bahkan tidak lagi mencoba mengenali karakter setiap anak didiknya, potensi anak didiknya dan mengikuti perkembangan mereka, hanya memenuhi target pengajaran oleh Kementerian (Pendidikan Dasar)", tutur Risa, yang juga adalah pengajar di Universitas Indonesia.
- Ketika paham radikal masuk ke ruang kelas sekolah
- GP Ansor: Buku TK 'Anak Islam Suka Membaca' ajarkan radikalisme
"Anak pun kemudian merasa terpenjara di kelas, dan di masa remaja saat naluri eksplorasinya tidak semata hal yang positif saja, maka yang keluar adalah agresivitas yang tak terkontrol itu."
Ditambahkann bahwa kasus kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia harus segara diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan.
"Ada apa dengan sistem pendidikan nasional? Kenapa anak yang harusnya menjadi terdidik, modern, beradab, kenapa menjadi seperti itu? Pernahkah Kementerian mempersoalkan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita?" tanya Risa.
Jelas tak semua siswa sekolah menengah terlibat kekerasan.
Seorang siswa di Budi Mulia mengaku sama sekali tidak mengetahui aksi duel yang disebut 'bom-boman 039; di sekolahnya dan baru menyadari setelah menjadi berita.
"Ternyata ada yang kayak begini," tuturnya kepada BBC Indonesia.