Beda perspektif TNI-Polri soal peluru impor dari Bulgaria ]]> ...
]]> Beda perspektif TNI-Polri soal peluru impor dari Bulgaria
Empat hari usai rapat antarlembaga keamanan dan pertahanan di kantor Kemenko Polhukam, TNI dan Polri masih memiliki perspektif berbeda terhadap 5.932 amunisi yang dibeli kepolisian dari perusahaan asal Bulgaria, Arsenal.
Polri menyebut amunisi itu hanya akan menimbulkan efek kejut bagi para terduga pelaku kejahatan, sementara otoritas militer menilai ribuan peluru tersebut sangat mematikan.
"Granat ini bisa meledak sendiri tanpa benturan, 14 sampai 19 detik setelah lepas dari laras. Ini luar biasa. TNI tidak punya senjata dengan kemampuan seperti itu," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Wuryanto di Jakarta, Selasa (10/10).
Wuryanto menggelar sesi jumpa pers khusus untuk menanggapi pernyataan terakhir kepolisian tentang amunisi yang sempat tertahan di terminal kargo Bandara Soekarno-Hatta, Banten.
"Saya melanjutkan apa yang dijelaskan Kadiv Humas Polri (Irjen Setyo Wasisto), tanggal 6 Oktober lalu, setelah penjelasan Menko Polhukam Wiranto," ujar Wuryanto.
Menurut Wuryanto, amunisi yang dibeli Polri memiliki radius mematikan sejauh sembilan meter dan dapat menembak sasaran yang berjarak 400 meter. Tak hanya itu, ia menyebut peluru tersebut dapat dua kali meledak sebelum pecah menjadi butiran logam kecil yang dapat melukai atau membunuh target.
- Pelontar granat bisa diambil Polri tapi amunisi tajamnya 'dititip' ke TNI
- Menhan terkait isu pembelian senjata: Panglima TNI tak perlu dievaluasi
- Pelontar granat itu 'milik Polri, diimpor sah, dan untuk di Poso dan Papua'
Jumat lalu, kepada pers, Setyo menyebut amunisi yang menuai polemik itu bukan peluru tajam, melainkan peluru tabur.
Amunisi itu dibeli sepaket dengan 280 senjata pelontar granat (stand-alone granede launcher/SAGL) yang juga tertahan sebelum Panglima TNI Jendera l Gatot Nurmantyo bersedia menerbitkan rekomendasi.
"Yang disebut tajam tadi, tajam hanya untuk mengejutkan dengan butiran kecil-kecil. Tidak untuk mematikan, tapi untuk melumpuhkan," ucap Setyo.
"Kalau orang ada di belakang tembok atau di belakang rumput, atau bambu, ditembak dengan granat itu, dia akan keluar. Artinya dia terkejut dan setelah itu dilakukan penangkapan. Itu yang dimaksud dengan senjata kejut," ujarnya, menambahkan.
Namun ketika dikonfirmasi usai jumpa pers yang digelar Wuryanto tentang senjata yang dianggap mematikan terebut, Setyo menolak berkomentar dengan alasan polemik pembelian senjata tersebut sepatutnya tidak diperpanjang.
"Saya tidak mau bikin gaduh lagi. Saya sangat menghormati Menko Polhukam. Sudah diputuskan demikian, kami hormati dan kami mengikuti beliau," kata Setyo melalui sambungan telepon.
Wiranto menuturkan, terdapat setidaknya empat undang-undang, satu perppu, dan empat peraturan setingkat menteri tentang pembelian senjata yang saling tumpang-tindih. TNI dan Polri merujuk ke peraturan yang berbeda.
Pemerintah, kata Wiranto, akan segera merancang aturan tunggal sebagai payung hukum pengadaan senjata untuk mencegah munculnya polemik serupa.
Namun sebelum peraturan itu terbit, Wuryanto menyatakan TNI akan berpegang pada Instruksi Presiden 9/1976.
Regulasi tersebut meminta pengawasan dan pengendalian senjata api di luar angkatan bersenjata, istilah yang mengacu pada TNI-Polri.
Senin (09/10) malam kemarin, kata Wuryan to, amunisi dalam 71 kotak kargo yang dibeli kepolisian telah masuk ke gudang penyimpanan senjata milik TNI.
"Kami bertanggung jawab selama penyimpinan. Pasti aman karena kami punya standar keamanan," ujarnya.
Tidak ada komentar