Pragmatisme Politik, Ketika Perhitungan Elektabilitas ... ...
- Home
- News
- Nasional
JAKARTA - Sikap politik Partai Golongan Karya (Golkar) dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat (Pilkada Jabar) tahun 2018 banyak dipertanyakan. Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar untuk mengusung Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil bahkan disebut banyak pihak sebagai anomali.
Alih-alih mengu sung Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang notabene adalah kader sejati partai, Golkar malah mengangkat Emil --sapaan akrab Ridwan Kamil-- sebagai calon gubernur pada kontestasi pilkada mendatang.
BERITA TERKAIT +- Tak Usung Calon dari Kader di Pilkada, Bukti Kaderisasi Parpol Masih Lemah
- Perkuat Posisi Bacagubnya, Sekjen PDIP Lakukan Roadshow Konsolidasi untuk Gus Ipul
- Daftar ke KPU, Golkar Pasang Target Jadi Nomor 1 di Pemilu 2019
Keputusan ini tentu tak mudah bagi Golkar. Dan bukan tanpa risiko, mengingat Dedi bukanlah seorang kader biasa. Saat ini Dedi menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Provinsi Jawa Barat. Selain berisiko kehilangan suara para loyalis Dedi, pengusungan Emil berpotensi menimbulkan perpecahan di internal partai.
Meski begitu, Dedi Mulyadi telah menyatakan sikapnya. Dedi legowo. Selama 10 tahun memimpin Purwakarta, Dedi mengaku "paham" betul bagaimana dinamika politik di Jawa Barat. Untuk itu, Dedi meminta seluruh kader Golkar --terutama di Jawa Barat-- untuk menerima keputusan DPP dan tetap setia menjalani fungsi sebagai kader.
"Kami cukup memahami apa yang menjadi keputusan DPP Partai Golkar, karena itu saya mengajak kepada seluruh kader Golkar untuk memahami keputusan tersebut," kata Dedi beberapa waktu lalu.
Terkait itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Golkar, Idrus Marham menuturkan alasan dibalik keputusan DPP mengusung Emil. Menurut Idrus, keputusan tersebut didasari oleh hasil kajian dan diskusi panjang di lingkup DPP. Dari hasil kajian itu, Golkar menemukan bahwa elektabilitas Emil melampaui Dedi. Dengan itu, Golkar menerjemahkan bahwa sebagian besar masyarakat Jawa Barat lebih menghendaki Emil ketimbang Dedi.
âMaka kita bertanya kepada masyarakat melalui survei. Dari survei itu, Golkar melihat bahwa tidak ada satu pun survei kredibel yang tidak mengatakan bahwa hasil survei Kang Emil sebagai calon gubernur tertingg i,â papar Idrus.
Tak hanya itu. Idrus juga menampik pandangan banyak pihak yang menyebut Golkar bersikap pragmatis dalam pengusungan Emil di Pilkada Jabar. Menurut Idrus, sejatinya Golkar tetap mengedepankan pengusungan kader, hanya saja, menurutnya, Golkar tetap perlu bersikap realistis untuk memenangi kontestasi politik di Jawa Barat.
Selain itu, yang juga penting bagi Golkar adalah bagaimana mempertahankan jati diri partai sebagai refleksi dari suara rakyat, sebagaimana motto yang telah lama dijunjung tinggi oleh partai.
âArtinya Partai Golkar sebenarnya tetap mengedepankan kader, apalagi pengurus. Tetapi, karena kita ingin menang di pilkada dan juga karena kita ingin konsisten pada moto Golkar bahwa suara Golkar suara rakyat, maka kita konsisten menerapkan prinsip Golkar sebagai sahabat rakyat,â kata Idrus.
Masalah Klasik Kaderisasi Partai Politik
Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago memandang masalah kaderisasi sebagai masalah klasik yang dialami oleh hampir semua partai politik (parpol) di Indonesia. Kaderisasi yang tak berjalan baik, dikatakan Pangi bukan hanya menghambat regenerasi kepemimpinan, tapi juga menyebabkan anjloknya nilai jual kader parpol di mata masyarakat.
"Hampir semua partai politik mengalami hal yang sama. Masalah kaderisasi parpol ini seperti masalah klasik ya. Rekrutmen mungkin tak berjalan baik. Atau kedua, kader internal di partai ini tidak laku dijual, sehingga membuat partai bicara realitas, mereka mengambil sosok dari non partai. Mereka berkaca dari popularitas, elektabilitas dan kemungkinan terpilih," kata Pangi kepada Okezone, Jumat (10/11/2017).
Selain masalah rekrutmen dan kaderisasi, Pangi melihat masih besarnya pengaruh politik transaksional dalam sejumlah keputusan yang diambil sebuah parpol dalam berbagai agenda politik, termasuk pengusungan calon dalam kontestasi pilkada. Menurut Pangi, hal tersebut berpotensi mengancam marwah suci demokrasi yang seharusnya bebas dari unsur-unsur transaksional.
"Jadi memang kelemahannya begitu. Ketika kader sendiri yang maju, puasa itu para pengurus partai karena tidak ada duitnya. Tidak ada duit masuk. Ini realistisnya begitu sekarang partai. Ini ngeri sekali ini," kata Pangi.
Dampak Buruk Pragmatisme Politik
Lebih lanjut, Pangi menjelaskan sejumlah dampak buruk yang dapat membuntuti pragmatisme politik yang mulai terbumikan di lingkup parpol.
Dari sisi kepartaian, pragmatisme politik akan menyebabkan preseden buruk. Partai terancam kehilangan politisi-politisi sejati di dalam tubuh mereka sendiri. Atau dengan kata lain, pragmatisme politik akan menurunkan nilai perjuangan politik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh kader-kader di setiap parpol.
"Orang akan berpikir kedepannya, termasuk musibah demokrasi di Golkar. Karena begini, nanti orang mau jadi pengurus partai tid ak mau repot-repot. Malas. Ngapain juga berkorban, menghabiskan waktu, pikiran," kata Pangi.
"Ini akan jadi preseden yang buruk. Ngapain juga kita membesarkan partai kalau akhirnya partai juga tidak menjamin keberpihakannya pada kader," tambahnya.
Sedang dari sisi masyarakat, pragmatisme politik juga sangat merugikan. Ketika sebuah parpol mengusung seorang calon pemimpin yang tidak melalui proses kaderisasi, masyarakat terancam membeli kucing dalam karung. Berbeda ketika calon yang diusung adalah seorang kader sejati.
Meski tak menjamin kualitas kepemimpinan, setidaknya masyarakat dapat melihat rekam jejak ideologis seorang calon pemimpin berdasar ideologi yang diusung oleh parpol yang mengusungnya.
"Biasanya kalau dari luar internal, biasanya kan mereka tidak ada keterikatan, tidak ada political engagement. Kalau kader sendiri kan minimal mereka punya pertanggungjawaban terhadap partai," kata Pangi.
"Track record juga nggak bisa. Mereka kalau mau ngapa-ngapain kan mereka sesuka hati. Kalau kader partai kan mereka masih diawasi, bisa diingatkan partai," tambahnya.
Karenanya, Pangi mengingatkan, secara teori politik, sebuah parpol sejatinya mengedepankan kader dalam pengusungan calon kepala daerah. Sebab, pragmatisme politik dapat menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan demokrasi.
"Ini (pragmatisme politik) akan berdampak pada demokrasi ya yang jelas," kata Pangi.
(ydp)
(amr)
Berita Lainnya
-
Setya Novanto Jadi Tersangka Lagi, Golkar: KPK Bukan Malaikat, Bisa Juga Salah
-
Imparsial: Rotasi Pergantian Pa nglima TNI, Bila Mengacu UU Giliran AU dan AL
-
Minta Kasus Pimpinan KPK Disetop, Golkar: Sikap Jokowi Sangat Bijaksana, Patut Diapresiasi
-
Penyanderaan Mapenduma, Turunnya 400 Tentara Akhiri Upaya Berbulan-bulan Mediasi yang Buntu
-
Pilpres 2019, PPP Bakal Sosialisasikan Dukungan untuk Jokowi hingga Akar Rumput
-
Mengenang Sederet Catatan Apik TNI dalam Berbagai Operasi Pembebasan Sandera
-
Elektabilitas Jokowi Tinggi, PPP: Modal Berharga Bagi Parpol Pendukung
-
Kabar Baik! Kendari Anggarkan Rp 99 juta untuk Nikah Massal
Berita Terkait
pilkada- Astaga! Modus Politik Uang Jelang Pilkada Mulai Beragam
- Jelang Pilkada 2018, KPK Ingatkan Para Calon Kepala Daerah Tak Bayar Apapun di Masa Kampanye
- PKS Resmi Beri Dukungan Isran di Pilkada Kalimantan Timur
- Jelang Pilkada 2018, KPU Sebut Masih Ada 3 Daerah Belum Teken NHPD
- Tak Puas Putusan MK, Sejumlah Warga Unjuk Rasa Minta Pilkada Intan Jaya Diulang
- Pasca-Putusan MK, 100 Personel Brimob Dikirim ke Intan Jaya Jaga Kondusivitas
- Bertemu Wiranto, Stafsus Presiden Bidang Papua Bahas Konflik Intan Jaya
- Antisipasi Kericuhan Pasca Putusan MK, Polri Kirim 1 Kompi Brimob ke Kabupaten Intan Jaya
- MK Putuskan Sengketa Pilkada Intan Jaya, Kapolda Imbau Warga Tak Anarkis
- Tok! Sengketa Pilkada Intan Jaya, MK Menangkan Paslon Nomor 3
Tidak ada komentar