Soal Penghayat Kepercayaan, Anggota Komisi VIII Ingatkan ... KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB, Maman Imanulhaq...
KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB, Maman Imanulhaq di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/11/2017).
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengingatkan Pemerintah agar memerhatikan betul pembinaan terhadap masyarakat penghayat kepercayaan. Hal ini menjadi perhatian setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah untuk juga mengakui penghayat kepercayaan sebagaimana kelompok agama lain yang sudah diakui lebih dulu.M
Menur ut Maman, jangan sampai aturan tersebut justru menjadikan pintu masuk untuk keluar dari agama resmi dan mengklaim punya kelompok atau aliran penghayat.
"Kasus-kasus nabi palsu, kasus kelompok-kelompok yang akhirnya membuat kita terus terjadi konflik di tengah masyarakat, harus dihentikan," kata Maman di Kompleks Parlemen, Jumat (10/11/2017).
"Itu sangat membahayakan juga orang yang mempermainkan sebuah regulasi negara untuk kepentingan pribadi," tuturnya.
Baca juga : Ada 187 Kelompok Penghayat Kepercayaan yang Terdaftar di Pemerintah
Pembinaan kemudian menjadi penting. Hal itu, kata Maman, bisa dilakukan baik oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun di Direktorat Bimbingan Masyarakat di Kementerian Agama.
Maman berharap, putusan tersebut bisa menjadi momentum penghentian diskriminasi yang selama ini dialami para penghayat.
Meski begitu, menurutnya, putusan itu har us direspons segera oleh kementerian terkait, terutama Kementerian Dalam Negeri dalam ini Direktorat Jenderal Kependudukan.
"Karena selama ini sistem yang menghalangi mereka mendapatkan hak-hak sipil dan politik itu adalah sistem yang ada di Dirjen Kependudukan. Kolom resmi itu harus mulai ada. Bahwa mereka boleh mengisi dengan kalimat penghayat," ujar Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Putusan MK
Dalam putusannya, Majelis Hakim MK berpendapat bahwa kata âagamaâ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah, dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyat akan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat.
Baca juga : Kemendagri Butuh Waktu untuk Terapkan Putusan MK Soal Penghayat Kepercayaan
Selain itu, MK memutuskan pasal 61 Ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianutnya.
Hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam ma syarakat Indonesia sangat banyak dan beragam.
Kompas TV Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md menilai laporan terhadap penyebar meme menjadi hak Setyo Novanto, namun . . .
Tidak ada komentar