Sejak berdiri hingga sekarang Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum Indonesia menjadi bagian yang selalu dinyatakan dalam ko...
Sejak berdiri hingga sekarang Indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum Indonesia menjadi bagian yang selalu dinyatakan dalam konstitusi. Cita-cita negara hukum yang terdapat dalam konstitusi bersifat universal.
Dalam konstitusi, konsep negara Indonesia tercantum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsep ini membawa pengaruh dalam bentuk pembatasan kekuasaan negara dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia harus berdasarkan hukum.
Hal ini sesuai dengan salah satu tuntutan reformasi, yaitu menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta semua kekuasaan harus dipertanggungjawabkan. Konsep negara hukum yang dianut Indonesia bersifat substantif atau materiil, yaitu negara kesejahteraan (welfare state).
Keadilan hukum menjadi syarat fundamental dalam terwujudnya kesejahteraan.
Selama tahun 2017, penegakan hukum berlangsung sangat dinamis. Namun demikian, proses maupun hasilnya masih belum mencerminkan keadilan, sehingga keadilan hukum terasa menghilang.
Pada kesempatan ini kami akan menyampaikan Catatan Akhir Tahun terhadap beberapa permasalahan hukum yang menonjol dan mendapat perhatian publik selama tahun 2017.
1. Hukum Belum Progresif
Hukum sebagai sebuah sistem sosial bersifat dinamis, sehingga harus antisipatif terhadap berbagai permasalahan riil yang mengemuka sebagai suatu tantangan dan sekaligus dilakukan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikannya. Tantangan hukum pada saat ini sangat kompleks, antara lain:
Hukum sebagai penjamin keadilan dan kesejahteraan belum berfungsi secara efektif, karena penyelesaian hukum tidak sampai pada akar persoalannya dan ada nuansa diskriminasi atau tebang pilih.
Budaya hukum belum dapat dilaksanakan secara otentik, karena masih terjadi penyelesaian masalah secara anarkis dan main hakim sendiri, sebagai wujud skeptisme terhadap lembaga hukum.
Kepastian hukum sebagai suatu nilai yang fundamental belum terwujud, karena ada regulasi yang saling bertentangan, tumpang tindih dan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Aparat penegak hukum sebagai avant garda untuk menegakkan hukum belum profesional, berintegritas dan belum mampu membersihkan dirinya dari perilaku-perilaku menyimpang.
Nasionalisasi produk hukum kolonial belum dapat diwujudkan sehingga hukum Indonesia belum sepenuhnya harmoni dengan ideologi, konstitusi dan budaya.
Praktek korupsi yang semakin meluas dan pemberantasan korupsi yang belum menimbulkan efek jera menyebabkan tingginya angka indeks persepsi korupsi Indonesia.
Praktek trial by press melalui media cetak, media elektronik maupun media sosial yang semakin bebas, tidak sejalan dengan azas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum.
2. Memudarnya Kebebasan Berpendapat
Pasal yang ada di Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kerap disalahgunakan dalam penegakan hukum. UU ini digunakan bagi kelompok yang powerfull (berkuasa) versus powerless (tak berdaya). Hal itu dapat menyandera kebebasan berpendapat.
Seharusnya tidak ada yang sembarangan menjerat orang atau pihak lain dengan UU ITE. Unsur dari Pasal 27 ayat 3 cenderung multitafsir. Banyak dan rentan disalahgunakan, karena . lentur sekali. Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani.
3. Meningkatnya Fenomena Persekusi
Fenomena persekusi pada tahun 2017 meningkat luar biasa. Persekusi adalah fenomena yang memprihatinkan masyarakat. Persekusi merupakan tindakan memburu orang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang, secara sistematis atau luas. Korban-korban kebanyakan diteror, diintimidasi, bahkan ada yang disakiti.
Terdapat dua elemen persekusi. Pertama, tindakan yang tidak manusiawi itu dilakukan untuk menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis. Kedua, tindakan tersebut dilakukan sebagai sebuah serangan yang sistematis atau meluas.
4. Melawan Melalui Praperadilan
Fenomena pra peradilan tahun 2017 meningkat sangat signifikan. Praperadilan dimanfaatkan untuk lolos dari penetapan tersangka, berbeda dengan spirit lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai pengawasan horizontal terhadap upaya paksa yang dilakukan Penyidik maupun Penuntut Umum
Pada mulanya, sidang praperadilan jarang dilaksanakan, namun pasca putusan MK No.21/PUU-XII/2014, praperadilan telah digunakan alat untuk apapun agar tersangka terhindar dari penetapan itu. Banyak perkara dilakukan perlawanan melalui praperadilan.
5. Ada Misteri dalam Pemberantasan Korupsi
Banyak kasus korupsi telah ditangani oleh KPK maupuan Kejaksaan. Hal ini patut untuk diapresiasi, namun perlu juga dikritisi karena belum ada konsistensi, masih menyisakan misteri dan tanda tanya besar. Misalnya, dalam kasus E KTP yang ditangani oleh KPK.
Contoh lain adalah perkara korupsi dana pensiun Pertamina yang ditangani oleh Kejaksaan.Dalam kasus tersebut, secara nyata ada peran seseorang yang paling tidak bisa dikenakan pasal ikut serta dalam tindak pidana korupsi.
Tetapi yang bersangkutan lepas dari proses hukum dan hanya sebatas dikenakan sebagai saksi. Padahal secara nyata merupakan pihak yang memediasi terjadinya transaksi yang diduga merugikan keuangan Negara. Sedangkan kedua belah pihak yang dimediasi telah dijadikan tersangka.
Penyusunan dakwaan harusnya mencerminkan konsistensi rangkaian peristiwa hukum dan nama-nama terduga pelaku harus tergambar dengan jelas sehingga delik pidananya menjadi jelas, pengenaan pasalnya tepat dan keterlibatan masing-masing pihak akan terurai secara nyata, apakah sebagai inisiator, pelaksana, ikut serta atau peran apa yang dimainkan sehingga suatu peristiwa pidana korupsi terjadi.
Menghilangnya nama seseorang dalam suatu dakwaan atau pemberantasan korupsi berakibat rangkaian peristiwa pidana korupsi menjadi kehilangan beberapa bagian suatu peristiwa pidana itu terjadi berakibat rangkaiannya tidak sempurna, mengurangi pelaku dan keiukut sertaan seseorang yang diduga turut serta dalam suatu tindak kejahatan korupsi.
Aparat penegak hukum harus konsisten dan tidak diskriminatif dalam penegakan hukum. Jika tidak konsisten, maka menjadi terjawab, adanya persepsi publik bahwa terjadi diskriminatif dalam pemberantasan korupsi dan perlakuan tidak adil terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana. Pemberantasan korupsi dengan cara diskriminatif, tidak adil dan tebang pilih, akan melanggengkan korupsi.
Penutup
Berdasarkan uraian tantangan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam reformasi hukum, yaitu sebagai berikut:
Sistem hukum harus dapat mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kesadaran hukum serta kesejahteraan rakyat.
Budaya hukum harus dikembangkan secara otentik, penyelesaian masalah hukum melalui prosedur hukum baik litigasi maupun non lititigasi.
Regulasi harus menciptakan kepastian hukum, tidak boleh saling bertentangan, tumpang tindih dan membuka peluang judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Aparat penegak hukum sebagai avant garda harus meningkatkan profesionalisme, integritas dan mencegah terjadinya perilaku-perilaku menyimpang.
Nasiolisasi produk hukum kolonial harus segera diwujudkan sehingga hukum Indonesia sesuai dengan ideologi, konstitusi dan budaya.
Pemberantasan korupsi harus semakin progresif, transparan, dan non diskriminasi serta independen sehingga menimbulkan efek jera pada masyarakat dan trust pada lembaga penegak hukum.
Praktek trial by press melalui media cetak, media elektronik maupun media sosial harus dikendalikan sehingga tidak bertentangan dengan azas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Demikian catatan akhir tahun 2017 SA Institute. Semoga bermanfaat dalam perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam menemukan keadilan hukum
Penulis:Dr.Suparji, SH, MH SA INSTITUTE
Tidak ada komentar