Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Indeks Prestasi Korupsi dan Parpol

Indeks Prestasi Korupsi dan Parpol Opini Indeks Prestasi Korupsi dan Parpol SEJATINYA semakin tinggi Indeks Persepsi Korupsi ...

Indeks Prestasi Korupsi dan Parpol

Opini

Indeks Prestasi Korupsi dan Parpol

SEJATINYA semakin tinggi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diperoleh suatu negara, maka semakin aman pula negara tersebut

Indeks Prestasi Korupsi dan Parpolabba gabrillin

Oleh Suci Fajarni

SEJATINYA semakin tinggi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diperoleh suatu negara, maka semakin aman pula negara tersebut dari korupsi. Namun, sebaliknya IPK yang rendah di suatu negara menandakan banyaknya kasus korupsi yang terjadi. Transparency International Indonesia (TII) pada 2016 lalu merilis angka Indeks Prestasi Korupsi Indonesia yang mengalami peningkatan satu poin, dari angka 36 naik menjadi 37, dari angka 100 sebagai peringkat tertinggi. Meskipun mengalami peningkatan, namun di kancah internasional, Indonesia masih menempati urutan ke-90 dari 176 negara.

Sebagai negara yang berada dalam proses menuju good coorporate governance, kenaikan skor tersebut jelas menandakan keberlanjutan tren positif pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun mengingat upaya yang telah dilakukan dalam mengurangi praktik korupsi tidak sedikit --mulai dari reformasi birokrasi hingga pelayanan publik dalam paket kebijakan deregulasi ekonomi telah diupayakan-- tetap saja belum terlalu membantu kenaikan IPK di Indonesia secara pesat. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang patut dikritisi.

Korupsi bukan hanya soal birokrat yang menyalahgunakan jabatannya. Namun juga tentang keterlibatan unsur-unsur lain selain pemerintah, yaitu pengusaha atau pihak korporasi dan unsur-unsur politisi. Pada tatanan korporasi, sogok-menyogok yang terjadi merajalela di berbagai bidang bisnis dan industri. Bukan suatu kejangg alan jika kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data penanganan perkara pada 2004-2016 yang menyimpulkan bahwa pihak korporasi menempati peringkat tertinggi sebagai pelaku korupsi.

Mulai terpecahkan
Harus diakui bahwa sebelum Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.13 Tahun 2016 lahir, Indonesia terkendala dalam proses penertiban korporasi yang terlibat korupsi. Hal ini disebabkan jalur hukum sebelumnya (UU darurat No.7 Tahun 1955) belum mampu menindak korporasi yang terlibat praktik korupsi secara organisasi.

Namun setelah Perma lahir, permasalahan kekosongan hukum bagi tindak pelaku korupsi pada ranah swasta mulai terpecahkan. Penersangkaan korporasi adalah langkah lanjutan setelah selama ini KPK hanya menjerat individu dalam kasus-kasus korupsi. Jika jerat pidana kepada korporasi sudah ada titik terang, bagaimana dengan parpol?

Bukan omong kosong ketika terdapat wacana bahwa di balik tindak korupsi yang dilakukan oleh para politisi dan korporasi , terdapat partai politik (parpol) yang sembunyi tangan. Beberapa persoalan aktual yang mengaitkan parpol dengan praktik korupsi, di antaranya terkait dengan keuangan dan aktivitas parpol seperti pendanaan kampanye, isu adanya permainan proyek pemerintah yang dipimpin oleh kader partai dengan sumbangan parpol dan pihak korporasi yang memiliki tujuan tertentu, hingga kasus aliran dana ke beberapa petinggi parpol. Bukan tidak mungkin jika minimnya mekanisme hukum yang mampu menjerat parpol yang melakukan praktik korupsi bisa menjadi satu faktor penghambat laju IPK di Indonesia.

Masalah yang selama ini terjadi, ketika kader dari satu parpol tertangkap tangan melakukan praktik korupsi, pihak partai pada umumnya melepaskan diri dengan menyatakan bahwa tindak korupsi itu kesalahan individu yang bersangkutan dan tak ada sangkut pautnya dengan partai. Sehingga, walaupun para politisi dari partai tertentu tidak pernah absen menjadi aktor utama dalam kasus-kasus korupsi, parpol-parpol tersebut tetap saja mampu mendulang banyak suara dalam pemilu. Seolah-olah martabat dan citra partai tidak terpengaruh oleh beragam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para kadernya. Maka dari itu, perlu diupayakan suatu kebijakan yang dapat membantu memperbaiki kondisi ini.

Dampak sosial, politik, dan ekonomi yang muncul dari kasus korupsi pada ranah parpol, sama besarnya dengan dampak yang dihasilkan dari praktik korupsi pada sektor pemerintahan dan korporasi. Bercermin dari pola pidana korporasi yang diperkuat dengan adanya Perma No.13 Tahun 2016, parpol seharusnya juga dapat dijerat pidana korupsi apabila pengurus atau kader parpol melakukan korupsi atas perintah atau sepengetahuan parpol, terutama jika hasil korupsi tersebut direncanakan sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan parpol.

Guna meningkatkan IPK di Indonesia, baik institusi penegak hukum maupun KPK sebaiknya segera fokus merumuskan kebijakan-kebijakan antikorupsi yang beroperasi dalam lingkup sek tor pemerintahan dan korporasi semata, namun juga memperluas penanganannya hingga ke ranah parpol. Langkah ini penting mengingat belum adanya penegakan hukum yang memiliki mekanisme pengusutan secara tuntas terhadap tindak korupsi di ranah parpol. Sehingga dibutuhkan pendekatan yang mempertimbangkan strategi penanganan maupun pencegahan.

Startegi pencegahan
Secara sosiologis, strategi pencegahan tidak akan melihat korupsi sebagai fenomena individual, melainkan menganalisisnya sebagai kegagalan institusional sistemik. Sehingga pendekatan pencegahan tidaklah parsial-individual, akan tetapi berbasis kepada sistem (system blame approach). Maka, untuk mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi di ranah parpol berbasis sistem, selayaknya beberapa usulan berikut bisa dipertimbangkan.

Pertama, parpol harus memperoleh penguatan sistem integritas internal, sekaligus penguatan kontrol parpol terhadap setiap kader mereka yang berkiprah di parlemen. Hal ini dapat diupayakan secara internal di masing-masing parpol. Kedua, parpol juga harus didorong untuk memiliki sistem pencatatan, pelaporan dan audit keuangan yang baik. Hal ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan kader parpol yang mengurus masalah keuangan. Dan, usulan terakhir, setiap parpol dipastikan sanggup menerapkan standar integritas internal yakni praktik etis yang sesuai dengan kepentingan, tujuan, dan fungsi partai.

Guna memastikan penerapannya berjalan secara maksimal, pemerintah harus merumuskan sanksi bagi setiap parpol yang tidak mampu atau justru melanggar standar integritas internal mereka. Untuk itu dibutuhkan beberapa ukuran/standar yang dirumuskan sebagai acuan, guna mengukur seberapa jauh parpol dapat mendorong penerapan praktik etis di lingkup partai dan seberapa jauh pihak pemerintah dapat mendorong parpol untuk mempraktikkan standar etis tersebut.

Melalui mekanisme pencegahan korupsi berbasis sistem seperti itu, diharapkan dapat menyumbang kenaikan Inde ks Prestasi Korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Namun selayaknya gagasan ini bukan hanya sekadar upaya statistik untuk semata-mata meningkatkan Indeks Prestasi Korupsi, akan tetapi bagaimana seharusnya dapat dimaknai sebagai sebuah keseriusan negara --dari tahun ke tahun-- dalam memberantas praktik korupsi di berbagai sektor. Nah!

* Suci Fajarni, M.A., Dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: sfajarni@gmail.com

Editor: bakri Sumber: Serambi Indonesia Ikuti kami di Sumber: Google News Parpol

Reponsive Ads