Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah

Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah Koran Sindo Rabu, 10 Januari ...

Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah

Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah

Koran Sindo

Pilkada Serentak 2018, Daya Tarung Kader Parpol Lemah
Partai politik yang mengusung figur dadakan bukan kader dalam Pilkada Serentak 2018. GRAFIS/KORAN SINDO
A+ A- JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini diwarnai banyaknya calon tunggal dan figur dadakan yang muncul pada detik-detik akhir menjelang pendaftaran calon di KPU. Fenomena ini mengindikasikan sistem pengaderan dan kepemimpinan di parpol yang masih lemah.
Potensi calon tunggal kemungkinan akan terjadi sedikitnya di 11 daerah antara lain di Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Lebak, Probolinggo, Pas uruan, dan Kabupaten Tapin. Jumlah calon tunggal ini mengalami kenaikan dibandingkan pilkada serentak periode sebelumnya yang hanya sembilan daerah.
Kemunculan calon tunggal tak bisa dihindari manakala parpol gagal menyiapkan kader-kader andalannya untuk bertarung dalam pilkada. Imbasnya, mereka menyerah dengan bergabung menjadi satu koalisi. Calon-calon tunggal ini mayoritas merupakan kepala daerah petahana.
Lemahnya parpol menyiapkan kader juga tampak jelas saat partai lebih memilih figur baru yang bukan kader murni menjadi jagoannya seperti dari berlatar belakang TNI atau Polri. Di pilkada kali ini beberapa parpol juga tampak mengimpor figur baru dari Jakarta. Fenomena ini antara lain terlihat pada pengusungan calon gubernur (cagub) Sudirman Said oleh Partai Gerindra dan Ida Fauziyah sebagai calon wakil gubernur (cawagub) oleh PKB di Jawa Tengah serta Djarot Saiful Hidayat menjadi cagub PDIP di Sumatera Utara. Sejumlah parpol juga masih percaya diri mengusung kader-kader nya meski usia mereka tak muda lagi.
Dinamisnya perkembangan politik juga membuat parpol dihadapkan pada pilihan pragmatis. Ini antara lain terlihat dari keputusan PDIP Jateng yang kali ini mengusung Ganjar Pranowo sebagai cagub Jateng berpasangan dengan Taj Yasin dari PPP. Sebagai parpol pemenang pemilu di Jateng, PDIP tampak kurang percaya diri sehingga tak mengusung sendiri kadernya baik untuk kursi cagub-cawagub.
Pilihan pragmatis ini membuat sistem perekrutan calon kepala daerah yang sudah berjalan menjadi terabaikan. Di Sumut, gubernur petahana yang juga merupakan ketua DPW NasDem Sumut Tengku Erry Nuradi juga akhirnya gagal mendapat tiket pilkada. Partai NasDem memutuskan mengusung pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajeksah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai dalam pilkada memang tidak ada larangan bagi parpol untuk mencalonkan kandidatnya dari luar daerah atau yang telah berusia senja. Hanya, menurut dia, dua indikator ini apabila dilakukan oleh sebuah institusi politik terus-menerus akan menjadi pertanyaan besar, khususnya menyangkut proses kaderisasi.
"Pencalonan politisi pendatang di pilkada yang bukan berasal dari kader parpol (pengurus) di daerah itu sangat berisiko," ujar Titi.
Menurut Titi, calon kepala daerah yang bukan berasal dari daerahnya akan melemahkan sistem kaderisasi. Hal ini juga bisa melemahkan kepengurusan partai di daerah tersebut secara perlahan. "Sebab kaderisasi yang dilakukan daerah yang mestinya menjadi modalitas dalam rekrutmen politik akhirnya jadi tidak bermakna," katanya.
Titi meminta parpol untuk mulai berpikir rasional. Orientasi parpol yang sekadar untuk menang saat mengikuti pilkada jelas berpotensi besar merugikan kader-kader organiknya sendiri. Titi juga mengkritik masuknya figur calon kepala daerah berusia senja pada pilkada kali ini. Hal ini jelas berseberangan dengan realitas di sejumlah belahan dunia, di mana ke munculan para pemimpin muda telah menjadi sebuah kebutuhan.
Pendiri dan penasihat Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) Hadar Nafis Gumay juga menilai kewenangan yang besar dari pengurus parpol tingkat pusat dalam menentukan pasangan calon adalah satu bentuk ketidakdemokratisan dalam berorganisasi. Lebih dari itu, ketiadaan pengaruh dari pengurus di daerah juga dapat menyebabkan calon kepala daerah yang dipilih bukan mewakili keinginan masyarakat dan lebih jauh lagi dapat menurunkan angka partisipasi pada hari pemilihan.
"Menurut saya, tidak demokratis sekali pun calon kepala daerah itu dipilih oleh kepengurusan di dalam satu sistem yang diatur dalam organisasi tersebut," ujarnya.
Kasus mengenai silang pendapat di internal parpol saat mengusung pasangan calon sudah terjadi pada hari pertama proses pendaftaran calon Pilkada 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara (Sultra) terpaksa menggugurkan dukungan dari PPP dan PKB terhadap pasan gan calon Asrun-Hugua karena kepengurusan daerah berbeda pandangan dengan kepengurusan tingkat pusat di masing-masing partai. halaman ke-1 dari 2
  • 1
  • 2
Follow Us : Follow @SINDOnewsSumber: Google News Parpol

Reponsive Ads