KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebandingkah duit yang dikeluarkan pemerintah dalam menyelenggarakan pesta demokrasi dengan terciptanya iklim ...
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebandingkah duit yang dikeluarkan pemerintah dalam menyelenggarakan pesta demokrasi dengan terciptanya iklim demokrasi di Indonesia?
Pertanyaan tersebut tentu patut dilayangkan, sebab sejak 2014 sudah banyak uang yang digelontorkan baik pemerintah pusat maupun daerah dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pilkada.
Dari riset yang dilakukan Kontan, untuk Pemilu 2014, pemerintah bahkan telah mengalokasikan APBN 2013 senilai Rp 8,1 triliun sebagai biaya persiapan Pemilu 2014. Ditambah Rp 16 triliun yang masuk dalam APBN 2014, sehingga total pemerintah kucurkan Rp 24,1 triliun untuk Pemilu 2014.
Sementara untuk Pilkada 2015 total anggarannya mencapai Rp 7,1 triliun untuk 269 daerah pemilihan. Dan senilai Rp 5,95 triliun untuk Pilkada 2017 di 101 daerah.
"Untuk Pilkada 2018 Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang sudah ditandatangani senilai Rp 11,9 triliun," kata ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman kepada KONTAN, di Kantor Pergerakan Indonesia Maju (PIM), Rabu (17/1).
Sedangkan untuk Pemilu 2019, Arif mengatakan telah dialokasikan biaya persiapannya senilai Rp 10,4 triliun. Dan akan ditambah senilai Rp 6 triliun pada 2019 kelak.
Jika ditotal, sejak 2014 hinga 2019 mendatang, pemerintah akan mengeluarkan uang senilai Rp 65,45 triliun dalam menyelenggarakan pesta demokrasi.
Asal tahu saja, uang sebesar itu sekiranya bisa untuk membangun 570 km jalan tol, 9.735 km jalan dengan lebar 6 meter, sementara jarak Sabang ke Merauke saja hanya 8,400 km, ditambah bisa membangun 100 unit gedung pencakar langit setinggi 35 lantai.
Namun Arief menyangkal jika uang sebanyak itu sama sekali tak berfaedah. Ia mengatakan, uang yang digunakan membiayai pesta demokrasi baik melalui Pilkada maupun Pemilu dihabiskan juga dalam rangka menjaga keberlangsungan negara, khususnya soal regenerasi pemimpin.
"Ya pasti sebanding, kalau tidak ada anggarannya bagaimana memilih pemimpin? Bagaimana untuk melakukan regenerasi kepemimpinan? Itulah kemudian uang tersebut menjadi berharga dan tak sia-sia," lanjut Arif.
Lagipula, kata Arif untuk untuk anggaran Pilkada misalnya, dari penyerapan anggaran dari perjanjian NPHD nyatanya tak akan semua diserap, dan sisa uang tersebut akan dikembalikan.
"Mungkin yang digunakan hanya 60% dari nilai total. Karena pasti tak ada anggaran yang tak jadi digunakan. Misalnya anggaran soal sengketa yang dialokasikan bisa sampai beberapa paslon, tapi realisasinya hanya satu paslon. Itu anggaran yang pasti dikembalikan," sambungnya.
Itu baru dari segi penyerapan uang, namun adakah signifikansi melimpahnya anggaran dengan majunya kehidupan demokrasi di Indonesia.
Soal ini, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro pesimistis. Ia menganggap tak ada korelasi postitif antara keduanya.
Sebab di level derah, katanya politik uang masih punya peran penting sehingga menganggu stabilitas demokrasi nasional.
"Ternyata korelasinya tak positif, jadi sudah saatnya sekarang politik uang dalam pilkada entah uang pencalonan uang TPS, uang saksi, uang pengawasan bisa dihindarkan," katanya kepada KONTAN dalam kesempatan yang sama.
Ia juga menilai partisipasi politik langsung dari masyarakat juga ternyata tak membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
"Dengan berbagai pertimbangan tadi itu ternyata demokrasi lokal yang partisipatoris itu tidak berdampak terhadap terwujudnya good government,” ujar dia.
Pertanyaan tersebut tentu patut dilayangkan, sebab sejak 2014 sudah banyak uang yang digelontorkan baik pemerintah pusat maupun daerah dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pilkada.
Dari riset yang dilakukan Kontan, untuk Pemilu 2014, pemerintah bahkan telah mengalokasikan APBN 2013 senilai Rp 8,1 triliun sebagai biaya persiapan Pemilu 2014. Ditambah Rp 16 triliun yang masuk dalam APBN 2014, sehingga total pemerintah kucurkan Rp 24,1 triliun untuk Pemilu 2014.
Sementara untuk Pilkada 2015 total anggarannya mencapai Rp 7,1 triliun untuk 269 daerah pemilihan. Dan senilai Rp 5,95 triliun untuk Pilkada 2017 di 101 daerah.
"Untuk Pilkada 2018 Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang sudah ditandatangani senilai Rp 11,9 triliun," kata ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman kepada KONTAN, di Kantor Pergerakan Indonesia Maju (PIM), Rabu (17/1).
Sedangkan untuk Pemilu 2019, Arif mengatakan telah dialokasikan biaya persiapannya senilai Rp 10,4 triliun. Dan akan ditambah senilai Rp 6 triliun pada 2019 kelak.
Jika ditotal, sejak 2014 hinga 2019 mendatang, pemerintah akan mengeluarkan uang senilai Rp 65,45 triliun dalam menyelenggarakan pesta demokrasi.
Asal tahu saja, uang sebesar itu sekiranya bisa untuk membangun 570 km jalan tol, 9.735 km jalan dengan lebar 6 meter, sementara jarak Sabang ke Merauke saja hanya 8,400 km, ditambah bisa membangun 100 unit gedung pencakar langit setinggi 35 lantai.
Namun Arief menyangkal jika uang sebanyak itu sama sekali tak berfaedah. Ia mengatakan, uang yang digunakan membiayai pesta demokrasi baik melalui Pilkada maupun Pemilu dihabiskan juga dalam rangka menjaga keberlangsungan negara, khususnya soal regenerasi pemimpin.
"Ya pasti sebanding, kalau tidak ada anggarannya bagaimana memilih pemimpin? Bagaimana untuk melakukan regenerasi kepemimpinan? Itulah kemudian uang tersebut menjadi berharga dan tak sia-sia," lanjut Arif.
Lagipula, kata Arif untuk untuk anggaran Pilkada misalnya, dari penyerapan anggaran dari perjanjian NPHD nyatanya tak akan semua diserap, dan sisa uang tersebut akan dikembalikan.
"Mungkin yang digunakan hanya 60% dari nilai total. Karena pasti tak ada anggaran yang tak jadi digunakan. Misalnya anggaran soal sengketa yang dialokasikan bisa sampai beberapa paslon, tapi realisasinya hanya satu paslon. Itu anggaran yang pasti dikembalikan," sambungnya.
Itu baru dari segi penyerapan uang, namun adakah signifikansi melimpahnya anggaran dengan majunya kehidupan demokrasi di Indonesia.
Soal ini, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro pesimistis. Ia menganggap tak ada korelasi postitif antara keduanya.
Sebab di level derah, katanya politik uang masih punya peran penting sehingga menganggu stabilitas demokrasi nasional.
"Ternyata korelasinya tak positif, jadi sudah saatnya sekarang politik uang dalam pilkada entah uang pencalonan uang TPS, uang saksi, uang pengawasan bisa dihindarkan," katanya kepada KONTAN dalam kesempatan yang sama.
Ia juga menilai partisipasi politik langsung dari masyarakat juga ternyata tak membawa demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
"Dengan berbagai pertimbangan tadi itu ternyata demokrasi lokal yang partisipatoris itu tidak berdampak terhadap terwujudnya good government,” ujar dia.
Zuhro menambahkan, masyarakat pun menjadi sangat oportunistik juga, tak hanya pragmatis. Ketiga, akhirnya komitmen untuk menjadi pemimpin hanya untuk berkuasa jadi tak ada genuine wilingly yang tentu merugikan Indonesia sebagai negara bangsa.
Soal sengkarut ini, ia punya usul menarik. Ia ingin agar partai politik justru diperkuat posisinya, tak sekadar bergembira hingga maupun sikut menjelang pesta demokrasi.
Sebab kata Zuhro, partai politik harusnya punya peran sentral atas tumbuh kembang demokrasi nasional.
Partai politik, kata Zuhro justru perlu didukung pendanaannya oleh negara. Niatnya agar mesin-mesin partai di daerah dapat bekerja optimal. Mulai dari kaderisasi, pendidikan politik masyarakat harus dilaksanakan secara terukur.
Ukuran-ukuran ini yang bisa jadi acuan negara menyeleksi partai mana yang berhak imut pesta demokrasi tadi. Disamping negara perlu pula merumuskan mekanisme audit secara finansial hingga kinerja partai.
"Negara harus mendanai partai dengan syarat yang harus diikuti. Hanya partai tertentu yang bisa mengikuti pemilu, termasuk partai yang bisa menunjukan mass political based. Kalau dengan cara demikian, biaya pesta demokrasi bisa jadi murah, pilkada jadi terukur kemudian niat calon yang akan memimpin jadi jelas," jelas Siti.
Hal-hal tersebut pula yang menurut Zuhro dapat meminimalisir politik transaksional. Misalnya pengusaha yang beri suap bagi calon kepala daerah untuk kemudian dapat melancarkan usaha melanggar hukum.
Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus suap macam itu adalah modus paling banyak perkara tindak pidana korupsi. Sejak 2004 ada 396 kasus suap dari total 685 kasus yang ditangani KPK.
Bahkan pada awal tahun ini, KPK terpaksan melakukan Operasi Tangkap Tangan kepada Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan Abdul Latif.
Abdul Latif jadi ditangkap atas gratifikasi terkait pembangunan ruang inap kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri, Kalsel. Padahal, pada 2015-2016 Abdul Latif juga pernah tersangkut kasus korupsi sebelumnya.
"Dalam momentum Pilkada ini, kami berharap agar calon kepala daerah tak memiliki motivasi menumpuk kekayaan jika terpilih kelak," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (16/1).
Soal sengkarut ini, ia punya usul menarik. Ia ingin agar partai politik justru diperkuat posisinya, tak sekadar bergembira hingga maupun sikut menjelang pesta demokrasi.
Sebab kata Zuhro, partai politik harusnya punya peran sentral atas tumbuh kembang demokrasi nasional.
Partai politik, kata Zuhro justru perlu didukung pendanaannya oleh negara. Niatnya agar mesin-mesin partai di daerah dapat bekerja optimal. Mulai dari kaderisasi, pendidikan politik masyarakat harus dilaksanakan secara terukur.
Ukuran-ukuran ini yang bisa jadi acuan negara menyeleksi partai mana yang berhak imut pesta demokrasi tadi. Disamping negara perlu pula merumuskan mekanisme audit secara finansial hingga kinerja partai.
"Negara harus mendanai partai dengan syarat yang harus diikuti. Hanya partai tertentu yang bisa mengikuti pemilu, termasuk partai yang bisa menunjukan mass political based. Kalau dengan cara demikian, biaya pesta demokrasi bisa jadi murah, pilkada jadi terukur kemudian niat calon yang akan memimpin jadi jelas," jelas Siti.
Hal-hal tersebut pula yang menurut Zuhro dapat meminimalisir politik transaksional. Misalnya pengusaha yang beri suap bagi calon kepala daerah untuk kemudian dapat melancarkan usaha melanggar hukum.
Dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus suap macam itu adalah modus paling banyak perkara tindak pidana korupsi. Sejak 2004 ada 396 kasus suap dari total 685 kasus yang ditangani KPK.
Bahkan pada awal tahun ini, KPK terpaksan melakukan Operasi Tangkap Tangan kepada Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan Abdul Latif.
Abdul Latif jadi ditangkap atas gratifikasi terkait pembangunan ruang inap kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri, Kalsel. Padahal, pada 2015-2016 Abdul Latif juga pernah tersangkut kasus korupsi sebelumnya.
"Dalam momentum Pilkada ini, kami berharap agar calon kepala daerah tak memiliki motivasi menumpuk kekayaan jika terpilih kelak," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (16/1).
BACA JUGA :
Sumber: Google News Pemilu
Tidak ada komentar