FITRA: Ada 4 Modus Korupsi Calon Kepala Daerah Petahana KOMPAS.com/AMBARANIE NADIA Direktur Eksekutif Seknas Fitra, Yenny Sucipto dalam disk...
KOMPAS.com/AMBARANIE NADIA Direktur Eksekutif Seknas Fitra, Yenny Sucipto dalam diskusi di Jakarta, Minggu (2/4/2017).
JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkap modus-modus tindak pidana korupsi kepala daerah yang maju dalam pilkada.
Pilkada Serentak 2018 diikuti 574 pasang calon kepala daerah yang tersebar di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kota/kabupaten.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 39 persen merupakan pejabat di eksekutif dan legislatif dan sebanyak 19 persen lagi merupakan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota atau wakilnya).
Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto menjelaskan, ada empat modus korupsi yang biasa dilakukan kepala daerah yang hendak maju kembali dalam pilkada:
1. Memanfaatkan dana bansos
Satu atau dua tahun menjelang pilkada, FITRA menemukan pola pendanaan yang sama untuk belanja hibah/bantuan sosial (bansos).
Dana hibah dan bansos merupakan diskresi kepala daerah sehingga sang kepala daerah bisa dengan leluasa mengucurkan dana segar kepada kelompok masyarakat tertentu demi kepentingan Pilkada.
"Ini alat mobilisasi yang ampuh bagi masyarakat, mengarahkan (anggaran) kepada lembaga-lembaga tertentu atau kepada perseorangan sesuai kehendak kepala daerah. Karena ini adalah diskresinya kepala daerah," ujar Yenny dalam konferensi pers di kawasan Cikini, Rabu (21/2/2018).
Bahkan, terkadang ditemukan fakta bahwa lembaga atau perseorangan itu adalah fiktif.
Pada t ahun 2017, FITRA menemukan 9 daerah yang meningkatkan belanja hibah dan bansos. Rata-rata peningkatan anggaran tersebut mencapai 35,4 persen.
2. Memanfaatkan silpa
Silpa atau sisa lebih penggunaan anggaran adalah selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan bersih.
Modusnya, kepala daerah mendepositokan atau menginvestasikan silpa suatu mata anggaran. Hasil keuntungan perputaran uang silpa tersebut otomatis tidak masuk kembali ke kas daerah, melainkan masuk ke kantong kepala daerah.
"Kasus seperti ini bisa kita lihat dari kasus Kepala Daerah Situbondo tahun 2007 lalu. Uang silpa di kas daerah yang disimpan di bank sebesar Rp 43,7 miliar hilang. Ternyata uang itu dimasukan deposito dan diinvestasikan," ujar Yenny.
3. Suntikan dana ke BUMD
Menjelang Pilkada, FITRA juga menemukan pola suntikan dana dalam jumlah besar ke BUMD. Bahkan, BUMD yang selama ini tidak berkontribusi terhadap penda patan daerah.
Usut punya usut, ternyata dengan penyuntikan dana besar itu berimbas pada besarnya pula devidennya.
Uang deviden itulah yang digunakan untuk pembiayaan Pilkada.
"Apalagi tidak ada prosedur yang jelas dalam peraturan perundangan mengenai dana investasi, laba dan deviden seringkali dimanfaatkan untuk dijadikan bancakan kepala daerah petahana," ujar Yenny.
4. Mark down PAD
Modus korupsi kepala daerah petahana lain, yakni mark down pendapatan asli daerah. Modus ini dilakukan dengan menurunkan potensi pendapatan dalam tahun anggaran tertentu.
Ketika terealisasi, pendapatan yang masuk lebih tinggi dari potensi yang tertera pada rancangan APBD. Selisih itu yang akan masuk ke kantong kepala daerah yang maju lagi dalam pilkada.
''Modus ini harus memiliki relasi yang kuat antara eksekutif dengan legislatif. Karena dalam perencanaan, melibatkan legislatif juga,'' ujar Yenny.
Anggota legislatif yang terlibat dalam desain korupsi mark down anggaran ini juga mendapatkan uang suap dari kepala daerah.
Yenny mengatakan, modus-modus ini nyata terjadi di lapangan. FITRA pun mendesak KPU,
Bawaslu dan aparat hukum, termasuk KPK berperan aktif dalam mengawasi tindakan seperti ini.
"Kami juga meminta KPU mendorong setiap calon kepala daerah untuk membuka dana kampanyenya ke publik. Ini merupakan bentuk terobosan transparansi anggaran untuk mengurangi potensi politik uang di pilkada," ujar Yenny.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga harus teliti mencermati pola-pola penggunaan anggaran daerah yang kepala daerahnya maju lagi menjadi calon kepala daerah petahana.
"Pengawasan Kemendagri harus tepat dan tegas. Apalagi soal tren peningkatan alokasi anggaran untuk bansos dan hibah jelang pilkada. Harus cermat dan tidak boleh tebang pilih," ujar Yenny.
Kompas TV Pemilu 2019 berpeluang besar hanya aka n diikuti oleh dua bakal calon presiden yaitu petahana Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
- Pilkada Serentak 2018
Tidak ada komentar