Paku dalam Pemilu 22 Februari, 2018 - 00:02 KOLOM ...
22 Februari, 2018 - 00:02 KOLOM
Hawe Setiawan
Budayawan, Kolumnis Pikiran Rakyat
PERILAKU saya di dalam bilik suara sepertinya menyerupai perilaku dukun santet. Tempatnya tertutup, eksekusinya rahasia. Di situ saya memegang paku dan menusukkan reruncingnya tepat ke potret wajah politisi di atas bantal kecil yang empuk.
Bedanya eksekusi santet dan eksekusi pemilu tipis saja. Santet tidak direstui oleh negara. Pemilu bukan saja direstui, melainkan juga dibiayai oleh negara. Yang pasti, dua-duanya bisa memusingkan pengelola negara. Bedanya yang lain terletak pada nasib sasaran. Orang yang gambarnya atau bonekanya ditusuk oleh dukun santet dipastikan celaka. Orang yang gambar wajahnya saya tusuk di dalam bilik suara dipastikan gembira.
Betapapun, dalam urusan sihirnya, santet dan pemilu kayaknya sama saja. Dukun santet tak perlu bersitatap langsung dengan korbannya. Begitu pula pemegang hak pilih tidak usah bersentuhan langsung dengan para politisi. Malah umumnya kita tidak kenal secara pribadi dengan para pesolek politik yang gemar pamer gambar itu. Baik dalam santet maupun dalam pemilu orang percaya bahwa tusukan paku dari kejauhan bisa mengubah kehidupan orang yang jadi sasaran.
Voodoo politik demikian lazim disebut "pencoblosan". Dengan tindakan seperti itu, pemegang hak pilih merasa berdaulat atas dirinya sendiri. Apapun pekerjaannya, di manapun posisi sosialnya, dia merasa punya kebebasan buat menentukan pilihan. Di musim kampanye, bisa saja dia terseret ke sana ke mari, ta pi di dalam bilik suara dia merasa mandiri. Kalaupun perasaan demikian palsu, anggaplah itu takhayul politik tersendiri.
Kata coblos, saya kira, diserap dari bahasa Jawa. Padanannya yang tepat dalam bahasa Sunda adalah tojos. Namun, uniknya, penutur bahasa Sunda biasanya tidak memakai istilah tojos untuk kegiatan inti verkiezing alias pemilu. Setahu saya, kata yang lazim dipakai dalam urusan ini adalah colok. Kata kerja nyolok bisa berarti memilih dalam pemilu.
Maafkan saya jika kata colok sering menyebabkan diri saya cenderung menganggap kertas suara sebagai benda yang belum tentu lebih penting ketimbang cilok alias aci dicolok. Paling tidak, cilok layak dimakan, dan bisa bikin perut kenyang. Lagi pula, tidak perlu paku buat menusuk cilok, melainkan cukup dengan semacam tusuk sate.
Di telinga saya, yang tidak sepeka telinga kelelawar, kata tojos menimbulkan efek yang lebih telak ketimbang kata colok. Efeknya makin telak man akala kata tojos atau coblos mengaitkan pikiran saya pada paku yang biasa dipakai dalam pemilu.
Seakan-akan paku telah jadi simbol tersendiri bagi kekerasan politik di Indonesia. Benda ini terbuat dari besi atau baja yang padat dan keras. Ujungnya runcing dan tajam.
Benda tajam yang satu ini juga menunjukkan bahwa teknologi politik di Indonesia tidak maju-maju amat. Alat-alatnya sangat sederhana. Sudah sekian pemilu dilangsungkan, dan salah satu alatnya yang amat penting, bahkan mungkin dapat disebut yang terpenting, tetaplah paku.
Pakunya dari mana, apakah diimpor dari Shandong ataukah didatangkan dari Tangerang? Saya tidak tahu. Biarlah itu jadi urusan KPU. Hal yang saya ketahui adalah kenyataan bahwa orang yang suka main paku sebetulnya bukan hanya para pemilih, melainkan juga para politisi yang ingin dipilih.
Kalangan yang disebutkan belakangan bahkan suka berperilaku lebih kasar lagi dengan memakai paku. Di antara mereka, saya kira, tidak sedikit y ang membiarkan tim sukses atau tim gagalnya menempelkan potret dengan paku yang melukai batang-batang pohon di sisi jalan.
Setiap kali memegang paku di dalam bilik suara, saya hanya menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, saya mencoblos gambar wajah politisi yang setahu saya tidak pernah dipakukan pada batang pohon. Kemungkinan kedua, saya tusukkan reruncing paku pada semua gambar wajah politisi yang tersedia dalam kertas suara, seperti tindakan dukun santet. Setidaknya, dengan begitu, saya tidak diam terpaku.***
Sumber: Google News Pemilu
Tidak ada komentar