Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

'Strategi parpol baru harus tepat, jika tidak maka cuma numpang ...

'Strategi parpol baru harus tepat, jika tidak maka cuma numpang ... ...

'Strategi parpol baru harus tepat, jika tidak maka cuma numpang ...

Merdeka > Politik 'Strategi parpol baru harus tepat, jika tidak maka cuma numpang lewat di Pemilu' Minggu, 18 Februari 2018 06:02 Reporter : Wisnoe Moerti PSI daftar ke KPU. ©2017 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

Merdeka.com - Komisi Pemilihan Umum meloloskan 14 partai politik sebagai peserta pemilihan umum 2019. Dua partai yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinyatakan tidak lolos verifikasi faktual.

Dari 14 parpol yang lolos sebagai peserta pemilu 2019, 10 di antaranya merupakan partai lama. Yakni Partai Amanat Nasional, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Persatuan Pembangunan. Sementara empat parpol merupakan peserta baru di Pemilu yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).

Mampukah empat partai baru ini unjuk gigi di pemilu 2019? Pengamat politik dari Unpad Muradi mencoba membedahnya satu per satu. Mulai dari PSI. Partai yang dikomandoi Grace Natalie ini sejak awal mencoba menarik simpati anak-anak muda. Jika dipetakan, pemilih di bawah 35 tahun ada sekitar 60 juta. Dari jumlah itu, 27 juta di antar anya adalah pemilih pemula.

"Kalau PSI bisa mengumpulkan 5-10 persen dari jumlah pemilih muda yang 60 juga, maka posisi PSI bisa aman. Namun tantangannya adalah apakah yang disasar adalah anak muda yang nyaman dengan politik? karena beberapa partai mengeluh anak muda zaman now itu apolitis. Nah ini tantangan serius bagi PSI," ungkap Muradi saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.

Lalu Partai Partai Gerakan Perubahan Indonesia atau Partai Garuda. Dia melihat, ini bukan partai baru lantaran pengurusnya adalah politisi lama yang aktif di parta-partai tertentu sebelum bergabung dengan partai Garuda. Dia menebak, pemilih yang ingin disasar partai ini sesungguhnya beririsan dengan pemilih yang disasar Partai NasDem, Gerindra, PDIP, hingga Golkar. "Peluangnya sedikit."

Bicara soal Partai Perindo, sejauh ini selalu memanfaatkan jaringan media yang dimiliki grup MNC untuk mendongkrak popularitas agar dikenal publik. Menurutnya, pemanfaatan medi a yang dimiliki sebenarnya tidak menjamin partai ini bisa bertahan dan unjuk gigi dalam pertarungan Pemilu 2019. Dia mencontohkan Partai NasDem yang pemilu lima tahun lalu juga gencar promosi lewat media yang dimiliki.

Soal Partai Berkarya, Muradi melihat partai ini mencoba menarik suara dari pemilih Golkar. Partai ini mencoba memunculkan sentimen baru dengan menghadirkan kembali era orde baru. Dibuktikan dengan dimunculkannya tokoh Tommy Soeharto yang identik dengan Presiden RI ke-2 Soeharto. Menurutnya, memunculkan kembali era orde baru bukan perkara mudah karena masih pro kontra.

"Kalau mampu merusak konsentrasi Partai Golkar bisa saja ada peluang tapi berat. Jualan mereka atau yang ditawarkan Berkarya yaitu kejayaan masa orde baru sudah dilakukan Golkar. Tinggal apakah Berkarya bisa mengemas lebih baru? Bisa saja dikemas bahwa Tommy bukan hanya anak ideologis tapi anak biologis Soeharto. Ini bisa jadi perhatian serius Golkar supaya suara mereka tidak lari ke Partai Berkarya," ucapnya.

Muradi melanjutkan, yang harus dilakukan empat partai baru ini adalah menempelkan kehadiran mereka di pikiran publik. Sehingga, publik mengetahui ada partai baru yang bisa jadi alternatif di Pemilu 2019. Gagasan saja tidak cukup. Mereka memerlukan blocking politik. maksudnya, menghadirkan sosok yang didukung sebagai calon presiden. Dengan begitu, suara partai baru akan ikut terkatrol dengan memunculkan sosok capres.

Ini bisa dilakukan dengan cara menghadirkan figur alternatif calon presiden. Namun bisa juga dengan mendompleng figur capres lama yang memudahkan masyarakat untuk mengenal mereka. Seperti yang dilakukan PSI dan Perindo.

"PSI dari awal dukung Ahok (Pilgub DKI), lalu dukung Jokowi (Pilpres). Orang jadi inget mereka. Perindo juga melakukan hal sama. Itu muncul di benak publik. Salah satu langkah utama dalam politik, dikenal dulu. Melekat dulu di kepala publik. Ini psikologi politik yang akhirnya publik memilih. P ersoalan akhirnya publik memilih mereka itu nomor dua," kata Muradi.

Momentum Pilkada Serentak 2018 bisa menjadi jalan bagi partai baru untuk dikenal publik. Mereka bisa mulai memberikan dukungan kepada calon-calon kepala daerah, hanya sekadar untuk dikenal publik. Kehadiran dan dukungan partai baru ke salah satu calon kepala daerah, akan diperhitungkan oleh pemilih. Namun, memutuskan dukungan juga harus dengan pertimbangan politik yang matang. Terlebih partai-partai baru yang punya irisan dengan partai lama. Seperti partai Berkarya dengan Partai Golkar.

"Blocking politik dengan menjadi pendukung salah satu calon di pilkada. Cukup dukung saja. Paling tidak publik akan ingat. Memori politik publik terbangun. Pelan-pelan membangun pendekatan publik. Dari situ kelihatan peta elektoralnya."

"Strategi partai baru harus tepat, kalau tidak ya mereka hanya numpang lewat," tegasnya. [noe]


Topik berita Terkait:
  1. Pemilu 2019
  2. Jakarta
Komentar Pembaca

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini
  • Khofifah tanggapi santai beredarnya video lama dukungan PKB

  • Calon Bupati Lampung Tengah tersangka suap, Hanura tak berharap menang

  • Pakar: Program 'Satria Madura' berarti Gus Ipul - Puti kucurkan 2 T lebih

Rekomendasi

Sumber: Google News Parpol

Reponsive Ads